The Shattered Light
Chapter 188: – Tanda yang Terbakar di Langit

Chapter 188: – Tanda yang Terbakar di Langit

Langit malam berubah merah.

Awalnya hanya semburat tipis di ufuk barat, tapi dalam hitungan menit, seluruh cakrawala membara seperti luka terbuka. Pasukan Kaelen, yang masih bertahan di balik reruntuhan altar, hanya bisa memandang ke atas dengan ngeri dan kebingungan.

"Apa itu?" tanya Lyra lirih, matanya menatap langit yang seperti terbakar.

Kaelen mengernyit, lalu mengalihkan pandangan ke simbol yang perlahan-lahan terbentuk dari cahaya api di angkasa. Bentuknya rumit, seperti ukiran kuno yang ia kenali dari kitab sihir terlarang—lingkaran penyegelan yang digunakan dalam ritual pemurnian massal.

Alden berlari dari sisi timur reruntuhan, keringat dan darah membasahi wajahnya.

"Itu bukan hanya pertanda," katanya cepat. "Itu instruksi. Ordo Cahaya sedang mengaktifkan Nox Lux Ordinem—ritual pemusnahan bagi semua yang menolak tunduk."

Lyra menegang. "Ritual pemurnian?! Bukankah itu sihir yang dilarang bahkan oleh mereka sendiri?"

Kaelen menarik napas panjang. "Itu bukan sihir... itu kutukan yang mereka beri nama indah."

Di atas altar, Grandmaster Elvior berdiri tegap, tubuhnya memancarkan cahaya samar. Di sekelilingnya, empat penyihir tinggi membentuk formasi, masing-masing membacakan bagian dari mantra yang membelah udara malam.

Eryon berdiri di sisinya, wajahnya tak tergoyahkan, tetapi matanya tidak sekosong sebelumnya. Ada keraguan. Sekilas. Namun cukup terlihat oleh mereka yang pernah mengenalnya.

“Elvior,” katanya pelan, “ritual ini akan membunuh ribuan... termasuk para pendeta muda, rakyat sipil, bahkan anak-anak.”

Elvior tidak menoleh. “Pengorbanan kecil untuk tatanan abadi.”

“Dan kalau mereka tidak ingin tatanan itu?”

“Orang-orang bodoh tidak diberi pilihan. Kita memilih untuk mereka.”

Eryon mengepalkan tangan. Tapi ia tetap diam.

Sementara itu, Kaelen bergerak ke barisan depan, memandang para penyintas pasukannya yang kini berdiri dengan luka, debu, dan darah, tapi tetap tegak.

"Kita hanya punya satu pilihan," katanya. "Entah kita hentikan ritual itu sekarang... atau kita biarkan dunia dibakar atas nama kebenaran palsu."

Lyra melangkah ke sisinya. “Bagaimana cara menghentikannya?”

Kaelen menunjuk langit. “Kita harus mengacaukan titik pusat mantra. Ada empat penyihir penjaga, satu di tiap sudut altar. Hancurkan satu saja, formasi akan goyah.”

Alden mengangkat satu alis. “Kau ingin kami menyerbu lagi, dalam kondisi seperti ini?”

Kaelen mengangguk. “Tidak untuk menang... tapi untuk membuat pilihan. Dunia yang kita perjuangkan bukan dunia sempurna. Tapi setidaknya, itu dunia yang bisa memilih.”

Pertempuran kedua meledak lebih liar dari yang pertama. Tidak ada taktik. Tidak ada waktu.

Lyra dan Alden masing-masing memimpin tim kecil menuju dua penjaga. Kaelen memilih sisi timur, tempat cahaya mantra paling kuat bersinar—tanda bahwa penyihir terkuat berdiri di sana.

Kaelen bertemu langsung dengan lelaki berjubah hitam yang wajahnya ditutupi topeng emas. Setiap gerakan pria itu menyayat udara dan menciptakan kilatan cahaya menyilaukan.

“Tak ada gunanya, Kaelen,” katanya. “Kau hanyalah bayangan yang melawan matahari.”

Kaelen tidak membalas. Ia menyerang.

Serangan demi serangan dibalas dengan mantra. Tanah meledak, udara mendesis, dan tubuh Kaelen tersambar dua kali, tetapi ia terus maju.

Di belakangnya, sisa pasukan bertarung dengan pasukan Ordo yang masih bertahan. Jeritan dan teriakan bercampur, tapi dunia Kaelen menyempit hanya pada satu hal: membungkam penjaga itu.

Di sisi lain altar, Lyra hampir tak mampu berdiri. Bahunya terbakar oleh sihir, dan tombaknya patah. Tapi dengan kekuatan terakhir, ia menusukkan pecahan senjata ke jantung penjaga wanita berjubah ungu.

Seketika, langit bergetar. Cahaya mantra bergoyang.

"SATU GAGAL!" teriak penyihir utama dari altar.

Eryon melihat ke bawah. Napasnya tercekat.

Seketika, ia teringat sesuatu.

Senyuman Serina. Darah di tangannya.

Wajah Kaelen yang dulu ia bantu bangkit.

"Apa yang telah kujadi?"

Saat itulah Eryon bergerak. Ia membelokkan tombaknya, bukan ke musuh... tapi ke penyihir penjaga ketiga.

Dalam satu gerakan cepat, ia menghantam jantung si penjaga dari belakang.

Dua titik gagal.

Mantra terguncang.

Elvior berbalik dengan marah. "PENGKHIANAT!"

Eryon menatapnya, mata basah. “Kebenaran yang memaksa manusia lupa siapa mereka... bukan kebenaran. Itu penjara.”

Elvior mengangkat tongkatnya, tapi sebelum serangannya dilepaskan, Kaelen melompat ke altar.

Tubuhnya berdarah. Tapi matanya menyala penuh bara.

Dua mantan saudara berdiri berhadapan lagi—tapi kali ini, mereka di sisi yang sama.

Dan mereka menyerang.

Pilar cahaya di langit runtuh. Formasi mantra hancur total.

Langit kembali gelap.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama...

...malam benar-benar tenang.

Kaelen jatuh berlutut. Eryon berdiri di sampingnya, diam.

Mereka menang. Tapi ini belum akhir.

“Terima kasih,” bisik Kaelen.

Eryon hanya mengangguk, lalu melangkah menjauh... menuju malam yang tidak menjanjikan pengampunan.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report