The Shattered Light -
Chapter 187: – Darah Pertama di Altar Suci
Chapter 187: – Darah Pertama di Altar Suci
Langkah terakhir menaiki tangga batu terdengar seperti denting pedang di ruang hening. Kaelen mendorong pintu logam berkarat di atas, membuka jalan menuju cahaya yang menyilaukan.
Mereka tiba di bawah altar kota suci—tempat yang selama ini dikeramatkan oleh Ordo Cahaya. Tapi tidak ada ketenangan di sana. Hanya bau darah yang belum kering dan suara teriakan di kejauhan.
“Kaelen... lihat,” bisik Alden, menunjuk ke pelataran di atas.
Pasukan Ordo Cahaya telah berjajar, membentuk formasi setengah lingkaran di depan altar utama. Panji-panji mereka berkibar, bukan dalam semangat suci, melainkan seperti peringatan: “Jangan dekati kami.”
Di tengah altar, berdiri sosok yang sangat dikenalnya: Grandmaster Elvior.
Dan di sisinya...
“Eryon,” Kaelen berbisik, suaranya nyaris pecah.
Eryon berdiri tegak, matanya kosong, tapi tangan kanannya memegang tombak perak—senjata yang dulu hanya digunakan dalam eksekusi upacara. Rambutnya dipotong pendek, baju zirahnya bukan lagi abu-abu tua, melainkan putih bersih, seolah menertawakan semua darah yang pernah ia tumpahkan.
“Kau tahu,” bisik Lyra sambil merunduk di balik reruntuhan, “sebagian dari diriku masih berharap dia akan memilih jalan lain.”
“Dia sudah memilih,” jawab Kaelen tanpa menoleh. “Kita juga harus.”
Alden menarik napas dalam. “Kita punya dua pilihan. Mundur dan menyerang dari sisi lain... atau—”
“Tidak ada sisi lain,” potong Kaelen. “Kalau kita tidak hancurkan kekuatan pusat mereka sekarang, perang ini hanya akan menelan lebih banyak orang tak bersalah.”
Ia berdiri.
“Aku akan maju. Yang mau ikut... jangan ikut karena aku. Ikut karena ini juga pertarungan kalian.”
Beberapa detik sunyi.
Lalu satu per satu, para pejuang berdiri. Alden. Lyra. Para komandan garis depan. Semuanya bersiap.
Kaelen mengangguk. “Kita mulai dengan memecah formasi. Target: altar.”
Serangan pertama datang dari Eryon.
Tanpa aba-aba, tombaknya menyambar ke udara dan memuntahkan gelombang energi putih ke arah tangga.
Kaelen bereaksi cepat, menarik Lyra ke belakang reruntuhan. Gelombang itu menghantam batu dan melelehkan setengah pilar dalam satu sapuan.
“Dia tidak menahan diri,” gumam Lyra, suara gemetar.
“Dan kita juga tidak akan.”
Kaelen melompat dari persembunyian, pedangnya berpendar, lalu meluncur ke arah Eryon di tengah kerumunan.
Pasukan keduanya bertabrakan di bawah altar. Jeritan, dentang logam, dan letusan sihir bergema.
Alden memimpin barisan kiri. Lyra menembus sisi kanan dengan dua prajurit elit. Tapi Kaelen—Kaelen hanya punya satu tujuan: Eryon.
Di atas altar, Eryon menunggu. Ia tidak bergerak, hanya menatap Kaelen yang mendekat, langkah demi langkah di antara pertempuran yang kacau.
“Kaelen,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti dulu. “Kau bisa berhenti. Kau bisa selamat.”
Kaelen berhenti. “Kau bilang dulu, tidak ada keselamatan yang layak jika didapat lewat pengkhianatan.”
Eryon menunduk sedikit. “Aku bilang itu... saat aku masih percaya.”
Kaelen menggenggam pedangnya lebih erat. “Dan sekarang?”
“Aku hanya percaya pada akhir.”
Tombaknya berpendar dan meledak ke depan.
Pertarungan mereka adalah badai dalam badai. Kaelen menghindari serangan demi serangan, pedangnya bertabrakan dengan tombak Eryon, menciptakan percikan api dan gelombang kejut.
Di sela-sela pertarungan, Kaelen mendesak, “Mengapa, Eryon? Mengapa kembali ke mereka?”
Eryon tidak langsung menjawab. Mereka bertarung lagi, hingga Kaelen berhasil menebas sisi baju zirah Eryon.
Darah menetes.
Barulah Eryon berbisik, “Karena dunia ini tidak pernah benar. Dan mungkin... kehancuran adalah satu-satunya penyucian.”
Kaelen terhuyung, bukan karena serangan, tapi karena kata-kata itu.
“Lalu Serina?” tanya Kaelen, nadanya retak. “Apa dia juga bagian dari penyucianmu?”
Wajah Eryon menegang. “Jangan sebut namanya.”
“Kenapa? Karena kau tahu dia mati di tanganmu? Atau karena kau tahu dia mati... tetap mencintaimu?”
Itulah satu-satunya celah. Dan Kaelen memanfaatkannya.
Ia menebas ke arah lengan Eryon, membuat tombak lawannya terlepas. Tapi sebelum Kaelen sempat menyelesaikan serangan, bayangan cahaya menyambar dari altar—Grandmaster Elvior melompat turun dengan tongkat sihir berisi segel kuno.
“Cukup,” seru Elvior. “Sudah cukup kekacauan. Dunia ini akan kembali pada tatanan. Dan kalian... akan menjadi contoh bahwa pemberontakan hanya membawa penderitaan.”
Ia mengangkat tongkatnya. Tanah bergemuruh. Dari bawah altar, muncul lingkaran sihir raksasa.
Alden, yang baru menembus ke tangga altar, berteriak, “Kaelen! Segel aktif!”
Tapi sudah terlambat. Ledakan cahaya menyelimuti altar.
Saat debu mengendap, Kaelen terbaring di atas batu, berdarah, dadanya nyeri. Tapi ia masih hidup.
Di sekelilingnya, tubuh-tubuh bergelimpangan. Beberapa pasukannya, beberapa dari Ordo. Tapi tak terlihat Eryon. Tak terlihat Elvior.
Lyra muncul dari reruntuhan, luka di wajahnya, tapi matanya masih menyala.
“Kaelen...” bisiknya, membantunya bangkit. “Kita kehilangan banyak orang... tapi kita belum kalah.”
Kaelen mengangguk perlahan, darah menetes dari pelipisnya.
Ia menatap langit altar, yang kini terbuka lebar—menampakkan langit malam yang penuh bintang, seolah memberi ruang untuk babak selanjutnya.
Dan jauh di dalam dirinya, ia tahu: ini baru awal dari akhir.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report