The Shattered Light
Chapter 171: – Di Antara Bara dan Bayangan

Chapter 171: – Di Antara Bara dan Bayangan

Pagi itu, langit di atas perkemahan pasukan pemberontak tidak biru, melainkan kelabu seperti abu. Sisa-sisa asap dari serangan semalam masih menggantung di udara. Beberapa tenda sobek, sebagian peralatan terbakar. Namun, suasana yang paling mencolok bukan kehancuran fisik—melainkan keheningan aneh yang menyelimuti setiap prajurit. Keheningan yang penuh ketegangan.

Kaelen berdiri di tengah perkemahan, memandangi tanah yang basah oleh darah dan lumpur. Di sekelilingnya, beberapa prajurit berdiri kaku dalam barisan yang kacau, sementara yang lain duduk di tanah dengan wajah tertunduk.

“Siapa yang memulai penyerangan sebelum perintah diberikan?” suara Kaelen dingin, namun jelas.

Tak ada yang menjawab. Hanya desau angin dan bunyi tembakan jauh di utara yang menjawabnya.

“Ini bukan disiplin yang biasa kalian tunjukkan. Jadi aku akan tanya sekali lagi. Siapa yang memulai tanpa komando?”

Beberapa wajah saling melirik. Lalu salah satu prajurit, lelaki bertubuh kekar dengan luka sayatan di pipi—Ranar, komandan divisi utara—maju setapak.

“Aku yang beri sinyal, Lord Kaelen.”

Alden, yang berdiri di belakang Kaelen, langsung melangkah maju. “Kau menyalahi rantai komando. Kau tahu apa artinya itu?”

Ranar tidak goyah. “Kami lihat pasukan Ordo bergerak. Jika kami tunggu lebih lama, mereka akan kabur. Kami hanya mengambil inisiatif.”

Kaelen mengangkat tangan, menghentikan Alden. Ia menatap Ranar lama. “Berapa orang yang kita kehilangan?”

“Dua puluh tiga. Tapi mereka kehilangan lebih banyak. Kita menang.”

“Menang?” Kaelen mengulang dengan nada datar. “Kau sebut kemenangan sesuatu yang kita capai dengan membunuh tanpa tujuan jelas? Dengan mengorbankan nyawa tanpa rencana?”

Ranar mengatupkan rahangnya. “Kami lelah menunggu. Kami bertempur karena kami percaya. Jika kita harus menunggu terus, apa bedanya kita dengan Ordo yang hanya bicara tanpa berbuat?”

Kaelen menatapnya tajam. “Bedanya, kita tidak berubah menjadi mereka.”

Keheningan kembali. Kaelen menatap para prajurit, lalu suara Lyra memecah diam.

“Pasukan mulai merasa kau tak lagi melihat mereka, Kaelen. Mereka menganggap kau sibuk dengan... hantu-hantumu sendiri.”

Wajah Kaelen mengeras. “Apa maksudmu?”

Lyra menatapnya lurus. “Sejak Serina mati... sejak kau mulai kehilangan ingatan satu per satu... kau berubah. Kau menjadi... semakin jauh. Dan mereka—kami—tidak tahu apakah kau masih memimpin, atau hanya berjalan karena terbiasa.”

“Jadi kalian bicara di belakangku,” kata Kaelen pelan.

Alden ikut angkat suara. “Bukan bicara di belakang, tapi mencoba menyelamatkan arah pasukan ini. Kita butuh pemimpin yang hadir—bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.”

Kaelen menutup matanya sejenak. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, dan setiap kata dari orang-orang yang ia percaya adalah kerikil yang membuat pijakannya goyah.

Lalu ia berkata pelan, “Kalian benar.”

Semua terdiam.

Kaelen melanjutkan, “Aku telah berjalan dalam gelap terlalu lama. Dan aku pikir, selama pedangku masih bisa diayunkan, itu cukup. Tapi aku salah. Kekuatan tidak cukup. Kemenangan tidak cukup.”

Ia menatap pasukannya. “Aku minta maaf.”

Ranar menunduk, kali ini bukan karena takut, tapi karena hormat. “Kami hanya ingin tahu bahwa pemimpin kami masih memimpin.”

Kaelen menarik napas panjang. “Mulai hari ini, semua keputusan akan didiskusikan. Tidak ada lagi perintah buta. Tidak ada lagi serangan sepihak. Jika kita bertarung... kita bertarung sebagai manusia.”

Alden tersenyum tipis. “Akhirnya kau kembali, Kaelen.”

Lyra, yang sejak tadi berdiri tenang, melangkah mendekat. “Dan kalau suatu hari nanti... kau kembali tenggelam, kami akan menarikmu lagi. Meskipun harus menyeretmu keluar dari bayanganmu sendiri.”

Kaelen menoleh, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tersenyum. “Terima kasih.”

Sore hari, Kaelen memanggil Ranar secara pribadi di tenda strateginya.

“Aku tak akan menjatuhkan hukuman padamu,” ujar Kaelen.

“Karena aku benar?” Ranar bertanya, hati-hati.

“Bukan. Karena kau salah, tapi aku juga bersalah. Dan kesalahan satu pihak tidak bisa dibenarkan dengan menghukum pihak lain yang mengisi kekosongan.”

Ranar mengangguk pelan. “Lalu apa yang akan kau lakukan padaku?”

Kaelen menatapnya serius. “Kau akan tetap memimpin pasukan utara. Tapi mulai sekarang, semua rencana hanya bisa berjalan setelah disetujui dalam dewan taktis. Tak ada keputusan satu orang, bahkan aku.”

Ranar terdiam sejenak, lalu berdiri tegak. “Aku akan hormati itu.”

Kaelen menepuk bahunya. “Dan aku akan belajar mempercayai kalian lagi.”

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report