The Shattered Light
Chapter 172: – Meja Batu dan Api

Chapter 172: – Meja Batu dan Api

Tenda strategis kali ini tak lagi sunyi. Di dalamnya, tujuh kursi kayu membentuk setengah lingkaran menghadap meja batu yang baru dibangun dari reruntuhan pos Ordo Cahaya. Di atasnya tergelar peta besar wilayah timur—zona merah menyala menandai kekuasaan Ordo yang masih tersisa, dan garis-garis hitam menunjuk jalur pasukan pemberontak yang tersebar.

Kaelen duduk di kursi utama, tapi kursi itu tidak lebih tinggi dari yang lain. Ia memutuskan: tidak akan ada lagi singgasana simbolik dalam perlawanan ini.

"Mulai hari ini," katanya, membuka pertemuan, "semua keputusan akan diambil oleh kita bersama. Bukan hanya dari satu kepala, melainkan tujuh suara."

Ranar duduk di sebelah kiri Kaelen, wajahnya masih membawa luka baru. Di seberangnya ada Lyra, tenang dan penuh perhitungan. Alden, berdiri di belakang kursinya, seperti biasa, mata awas pada peta dan ekspresi siapa pun.

Dua kursi di ujung kanan diisi oleh para pemimpin baru dari divisi selatan dan timur: Sada, wanita tua berkulit legam dengan mata tajam seperti elang, dan Meren, mantan tabib yang kini menjadi ahli logistik.

“Dan kursi ketujuh?” tanya Lyra, menatap tempat yang masih kosong.

Kaelen menatap peta sejenak, lalu menjawab, “Itu untuk perwakilan rakyat desa yang kita lindungi.”

Alden mengernyit. “Mereka tak punya pelatihan militer.”

“Betul,” ujar Kaelen, “tapi mereka yang menanggung konsekuensi dari setiap keputusan kita. Mereka berhak bicara.”

Sada terkekeh kecil. “Kau tak lagi jadi panglima biasa, anak muda. Kau mulai bertingkah seperti pemimpin dunia.”

Kaelen tersenyum tipis. “Kalau begitu, biar aku belajar memimpin dari awal.”

Lyra menatapnya lama. Ia mengenali perubahan itu. Kaelen yang dulu hanya bergerak berdasarkan kemarahan, kini mulai mencari arah dari keraguan. Dan kadang, itulah bentuk kepemimpinan terbaik.

“Baik,” kata Lyra, membuka rapat. “Mari kita bahas tujuan pertama Dewan ini: benteng utama Ordo di Erendor.”

Ranar maju. “Erendor dijaga dua lapis pertahanan. Pasukan mereka lebih banyak, tapi kita punya keunggulan posisi dari arah barat laut. Aku sarankan kita membagi pasukan jadi tiga jalur penyergapan.”

Sada menyela. “Jalur barat laut penuh rawa. Kau ingin pasukanmu tenggelam sebelum sampai ke gerbang?”

“Lebih baik tenggelam bersama rencana daripada bertarung tanpa arah,” balas Ranar.

Lyra mengangkat alis. “Atau kita bisa manfaatkan malam bulan mati untuk menyusupkan satu pasukan kecil lewat terowongan bekas tambang di sisi selatan. Aku tahu jalurnya.”

Alden menimpali. “Terlalu berisiko. Kita tak tahu kondisi tambang itu sekarang. Bisa jadi jebakan.”

Kaelen mendengarkan semua. Kepalanya penuh pertimbangan, tapi bukan kebingungan. Justru, ia mulai memahami kekuatan dari membuka telinga, bukan hanya mengangkat pedang.

Ia mengetuk meja. “Kita tidak memilih satu rencana. Kita ambil dua—penyergapan utama lewat barat, dan tim kecil lewat tambang. Tapi... aku yang akan pimpin penyusupan.”

Semua mata menoleh padanya.

“Kaelen, itu bunuh diri,” ujar Lyra pelan.

Kaelen menatapnya. “Kalau kita minta orang lain bertaruh nyawa, aku harus mau bertaruh lebih dulu.”

Meren, yang selama ini diam, angkat bicara. “Pemimpin tidak hanya memimpin dengan pedang. Kau lebih dibutuhkan di sini.”

“Aku akan kembali,” jawab Kaelen, “tapi aku harus pergi dulu untuk tahu apa yang layak aku bawa pulang.”

Rapat itu selesai dalam sunyi. Masing-masing meninggalkan tenda dengan pikiran sendiri-sendiri.

Malam itu, Lyra menyusul Kaelen yang duduk sendirian di luar tenda. Angin membawa aroma pinus dan bara dari api unggun.

“Kenapa kau selalu memilih cara yang paling menyakitkan, Kaelen?” tanyanya.

Kaelen menoleh. “Karena cara yang mudah... terlalu mudah membuatku lupa siapa yang sudah kubakar untuk sampai di sini.”

Lyra duduk di sampingnya. “Kau takut melupakan lagi?”

Kaelen tertawa kecil, pahit. “Aku bahkan tidak ingat suara Serina. Kadang aku lupa nama ayahku. Tapi rasa kehilangan itu tetap tinggal, meski wajah-wajahnya mulai menghilang.”

Lyra menggenggam tangannya. “Aku di sini. Dan selama aku bisa, aku akan jadi saksi untuk semua yang kau lupakan.”

Kaelen memejamkan mata. “Kalau suatu hari aku lupa padamu juga...”

“...maka aku akan tetap bicara padamu seolah kau masih ingat. Karena cinta, Kaelen, bukan soal diingat—tapi soal memilih untuk tetap tinggal, meski tak dikenal lagi.”

Sunyi. Lalu Kaelen membisik, “Kalau aku mati...”

“Kau belum mati,” potong Lyra, “dan aku belum selesai marah padamu.”

Mereka tertawa pelan. Untuk sejenak, di antara bara dan bayangan, ada kedamaian yang tak bisa direnggut perang.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report