The Shattered Light -
Chapter 161: – Bayang-Bayang di Tevran
Chapter 161: – Bayang-Bayang di Tevran
Kabut tipis masih menggantung di atas dataran Tevran ketika kelima penunggang kuda muncul di ujung bukit. Di kejauhan, bentangan tanah lapang terbentang seperti halaman kosong—tempat segala kemungkinan bisa ditulis, termasuk kematian.
Naerys menarik napas dalam. “Kau yakin ini tempatnya?”
“Aeris kirim tanda pertemuan ke titik ini,” jawab Lyra, menahan riak kecemasan di nadanya. “Dia yang memilih. Kita hanya menanggapi.”
“Atau masuk ke perangkap,” gumam Alden, menatap ke sekitar, mata elangnya menyisir celah bukit dan bayangan bebatuan.
“Kalau itu perangkap,” potong Razan, “mereka terlalu tenang. Tak ada penjaga, tak ada panji, tak ada suara logam.”
Tova, satu-satunya yang masih muda dalam rombongan, menggenggam gagang tombaknya erat. “Tapi ada sesuatu yang aneh. Lihat ke sana...”
Ia menunjuk ke arah selatan. Di sana, tampak sekumpulan tenda berwarna kelam, tidak jauh dari sebuah altar batu tua. Namun yang membuat mereka semua berhenti adalah panji yang berkibar di tengah-tengahnya—panji biru tua dengan simbol mata terbuka.
“Itu bukan panji Aeris,” desis Lyra. “Itu... milik Maelorin.”
Naerys menyipitkan mata. “Jadi dia mendahului kita.”
“Atau menguasai medan ini tanpa perlu perang,” ucap Razan dingin.
Sebelum mereka sempat merumuskan rencana, seekor elang hitam mendarat di batu besar di dekat mereka. Di kakinya, tergulung secarik kain hitam. Naerys mengambilnya, membuka gulungan dengan hati-hati.
Ia membaca keras-keras:
“Kepada mereka yang masih mengira dunia bisa ditebus: datanglah, jika kalian ingin mendengar akhir yang telah kutulis.”
Alden mendengus. “Sombong sekali.”
“Itu tantangan sekaligus sindiran,” kata Lyra pelan. “Dia ingin kita datang sebagai tamu. Bukan musuh.”
“Dan jika kita menolak?” tanya Tova.
“Maka kita tak pernah tahu apa yang ia sembunyikan. Dan ketidaktahuan adalah awal dari kekalahan.”
Mereka melangkah ke kamp tenda tanpa senjata terhunus. Tapi setiap langkah terasa seperti memasuki pusaran yang menghisap nurani. Bau dupa samar, nyanyian lirih dalam bahasa kuno, dan suara langkah yang terlalu lembut untuk didengar tapi tetap terasa.
Di tengah perkemahan, seorang pria berdiri. Rambut peraknya tergerai, mata hitamnya dalam dan menenangkan... namun ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—seolah ia menyerap cahaya di sekitarnya.
“Selamat datang, Lyra,” katanya, suaranya tenang seperti air genangan. “Dan teman-teman lamaku. Razan. Alden. Bahkan putri petir, Naerys.”
Naerys mengepalkan tinjunya, tetapi tak berkata.
“Maelorin,” sapa Lyra datar. “Kau tampaknya terlalu nyaman untuk seseorang yang seharusnya jadi buronan.”
“Dunia ini tak mencari kebenaran,” balasnya. “Mereka hanya mencari siapa yang paling keras bicara. Dan saat ini, akulah suaranya.”
Alden menatap tajam. “Apa tujuanmu sebenarnya?”
“Menghentikan omong kosong ini,” ujar Maelorin tenang. “Perang, perebutan relik, harapan palsu... Semua itu hanya menyiksa manusia lebih lama. Aku ingin mengakhiri semuanya.”
Tova melangkah maju. “Dengan membantai mereka yang berbeda pendapat?”
“Dengan membebaskan mereka dari beban pilihan,” jawab Maelorin. “Kebebasan adalah kutukan paling licik. Dan kalian semua... adalah pengusung kutukan itu.”
“Kau tidak mengerti,” kata Lyra, suaranya meninggi. “Kami tidak berjuang untuk kekuasaan. Kami berjuang karena kami percaya manusia pantas punya masa depan.”
Maelorin menatapnya. “Dan sudah berapa yang mati demi ‘masa depan’ itu?”
“Lebih banyak akan mati jika kita membiarkanmu membentuk dunia ini seperti papan caturmu sendiri!”
Maelorin mendekat, mata mereka hampir bertemu. “Dan jika aku memberimu satu pilihan: tunduk, dan semua penderitaan berakhir. Tidak ada perang, tidak ada rasa sakit. Hanya keteraturan.”
“Maka aku akan menolak,” desis Lyra. “Karena keteraturan tanpa kehendak... adalah perbudakan.”
Maelorin tertawa pelan. “Aku harap kau tetap berkata begitu... setelah melihat siapa yang mendukungku sekarang.”
Ia menepuk tangan, dan dari balik tenda, muncullah seseorang.
Langkahnya anggun. Mata gelapnya menatap Lyra dengan campuran amarah dan luka lama.
“T-Talia?” Naerys terengah. “Tidak... kau mati. Aku melihat tubuhmu sendiri.”
“Kau melihat ilusi,” jawab Talia, suaranya serak. “Aku hidup. Dan aku sudah lama melihat kebenaran yang kalian tolak.”
Lyra membeku.
Talia... mantan pengawal, sahabat, saudari pilihan—telah berdiri di sisi lawan.
“Kau memilih dia?” bisik Lyra, nyaris tak terdengar.
“Aku memilih dunia yang tak lagi menuntut pengorbanan dari yang selalu kalah.”
Suasana menjadi berat. Tidak ada pedang yang terhunus, tapi setiap kata terasa seperti sayatan.
Maelorin berkata terakhir, “Kalian punya tiga hari. Setelah itu, tawaran akan ditarik. Dan masa depan akan kulukis dengan darah... atau kebisuan.”
Mereka meninggalkan perkemahan dengan langkah berat. Dunia yang mereka perjuangkan tidak hanya berjarak secara fisik—tapi juga moral.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report