The Shattered Light
Chapter 160: – Mereka yang Dipilih

Chapter 160: – Mereka yang Dipilih

Kabut pagi belum mengangkat sepenuhnya ketika Lyra memasuki tenda pertemuan. Di dalamnya, Naerys sudah duduk di sudut, satu kaki naik ke bangku kecil sambil mengasah belatinya. Alden berdiri di dekat peta besar yang digelar di atas meja, mengamati titik-titik merah dan biru dengan dahi mengernyit.

“Kita harus bicara soal siapa yang ikut,” kata Lyra, membuka percakapan tanpa basa-basi.

Alden menoleh. “Kita atau kau?”

Lyra memandangnya tajam, tetapi tidak menjawab. Ia melangkah ke meja, menunjuk dataran Tevran.

“Aeris menantang kita di sini. Dalam dua minggu, dia akan mulai pergerakan pasukannya. Jika kita biarkan dia maju tanpa perlawanan...”

Naerys menyela. “...dunia akan mengira dia adalah suara yang benar. Dan kita akan kehilangan kendali atas apa pun yang tersisa dari harapan.”

“Tapi jika kita hadapi dia secara terbuka,” lanjut Alden, “kita perkuat narasi bahwa ini perang saudara. Rakyat akan terpecah. Separuh akan mencium darah dan berteriak kemenangan. Separuh lagi akan tenggelam dalam ketakutan.”

Hening.

“Itulah kenapa,” kata Lyra, “aku tidak membawa pasukan.”

Alden memelototinya. “Apa maksudmu?”

“Aku hanya akan bawa lima orang,” jawab Lyra. “Kita temui Aeris bukan sebagai jenderal dan jenderal, tapi sebagai dua sisa dari dunia lama yang mencoba menyelamatkan dunia baru.”

Naerys bersandar, menatap Lyra. “Dan jika dia tidak mau bicara?”

“Maka lima orang cukup untuk mati tanpa menyeret ribuan.”

Sore itu, Lyra mengumpulkan beberapa orang terdekatnya di api unggun utama. Raut wajah mereka menunjukkan kecemasan dan rasa ingin tahu.

“Aku akan ke Tevran. Dan aku butuh empat orang.”

Semua saling pandang.

“Aku ikut,” kata Naerys cepat. “Bahkan jika kita masuk ke sarang naga.”

“Aku juga,” Alden menyusul. “Seseorang harus memastikan kau tidak bunuh dirimu sendiri dengan pilihan bodoh.”

Lyra tersenyum tipis. “Terima kasih atas kepercayaanmu.”

“Kalau begitu kau tinggal butuh dua lagi,” ujar suara berat dari belakang mereka.

Mereka menoleh bersamaan.

Di sana berdiri sosok yang tak disangka siapa pun.

Kain gelap. Tudung kepala. Luka lama di pipi kiri.

“Razan?” bisik Naerys. “Kau seharusnya mati di Benteng Ardelon.”

“Seharusnya,” jawab Razan datar. “Tapi takdir membawaku ke jalan yang lebih panjang. Dan mungkin lebih menyakitkan.”

“Kau pengkhianat,” geram Alden. “Kau berbalik mendukung Ordo saat kami—”

“Aku menyelamatkan keluarga,” potong Razan tenang. “Jika kau ada di posisiku, kau juga akan melakukan hal yang sama.”

Lyra menatap Razan lama, sebelum akhirnya berkata, “Kenapa sekarang?”

“Karena yang akan kau hadapi bukan hanya Aeris. Di belakangnya... ada seseorang yang lebih gelap. Dan aku tahu namanya.”

Semuanya membeku.

“Siapa?” tanya Naerys cepat.

Razan menatap Lyra langsung. “Aku akan bilang... jika aku diizinkan ikut.”

Di dalam tenda, hanya Lyra dan Razan yang tinggal. Di luar, api unggun menyala tenang. Tapi di dalam, ketegangan terasa pekat.

“Namanya Maelorin,” kata Razan. “Mantan petinggi Ordo. Dulu dia memimpin eksperimen tentang relik dan darah murni. Setelah Ordo hancur, dia lenyap. Tapi aku tahu dia tidak mati. Dia... berubah.”

“Dan sekarang dia bersama Aeris?”

“Tidak bersama. Tapi memanipulasi. Aeris pikir dia punya kendali. Padahal, dia pion. Sama seperti dulu aku, kau, bahkan dunia ini.”

Lyra menatap tangannya sendiri. “Aku lelah jadi pion.”

“Maka buat langkahmu, Ratu Cahaya,” kata Razan. “Dan biarkan aku memperbaiki sebagian dosaku.”

Malam itu sunyi, seolah alam pun menahan napas. Di perapian terakhir, Naerys duduk di samping Lyra.

“Kau tahu ini bisa jadi akhir, kan?”

“Sudah lama aku tahu itu,” jawab Lyra.

“Kalau kau mati... siapa yang akan teruskan perjuangan?”

Lyra menoleh. “Kau. Bukan sebagai bayanganku, tapi sebagai dirimu sendiri.”

“Aku... tidak yakin aku punya kekuatan seperti kau.”

“Kekuatan itu bukan soal sihir atau senjata, Naerys. Tapi pilihan. Dan keberanian untuk tetap memilih yang benar, meski semua di sekelilingmu memilih jalan yang lebih mudah.”

Naerys mengangguk pelan. Tapi di matanya, ada ketakutan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.

Fajar menyingsing ketika kelima orang itu menunggang kuda menuju timur. Langit keemasan di belakang mereka. Tanah beku dan datar di hadapan mereka.

Lyra.

Naerys.

Alden.

Razan.

Dan Tova, prajurit muda yang memohon untuk ikut, membawa ingatan saudaranya yang mati di tangan Ordo.

Mereka menunggang dalam diam. Tapi hati mereka bergemuruh. Karena apa pun yang menanti di Tevran... bukan hanya pertempuran. Tapi penentuan.

Penebusan.

Atau pengkhianatan terakhir.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report