The Shattered Light
Chapter 159: – Wajah di Balik Matahari

Chapter 159: – Wajah di Balik Matahari

Salju mulai turun ketika rombongan kecil itu menembus hutan pinus utara. Udara tipis, menggigit hingga tulang. Tidak ada suara burung, hanya desir angin yang menyelinap melalui celah pepohonan, membawa bisikan yang terdengar seperti nama.

“Kau yakin mereka di sini?” tanya Alden, menyeka embun beku dari pelindung bahunya.

Lyra menjawab tanpa menoleh, “Kalau mereka ingin ditemukan, kita sudah mati sekarang.”

Naerys, berjalan di belakang, melemparkan pandangannya ke segala arah. “Atau mereka sedang menonton, menilai. Seperti kita sedang bermain catur, dan kita belum sadar siapa lawannya.”

Langkah mereka terhenti di tepi jurang. Di seberang, reruntuhan benteng tua menjulang, sebagian tertutup salju. Di atasnya, berkibar panji merah keemasan—lambang Anak Matahari.

“Kita temui pemimpin mereka,” kata Lyra. “Tanpa senjata terbuka. Jika ini jebakan, kita pulang sebagai arwah.”

Alden bersiul pendek. “Optimis sekali kau.”

Mereka dikawal masuk ke aula utama—sederhana, berdinding kayu lapuk, namun dijaga dengan rapi. Beberapa wajah muda menatap mereka dari kejauhan, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian dengan keraguan.

Lalu, dari balik tirai kulit rusa, seseorang melangkah keluar.

Lyra membeku.

“...Aeris?”

Pemimpin Anak Matahari berdiri tegap, rambutnya lebih panjang, kulitnya terbakar matahari, tapi tak mungkin salah. Adik kandung Lyra. Yang diyakini mati saat benteng Ordo menghancurkan kamp mereka belasan tahun lalu.

Aeris menatap kakaknya lama. “Kau lambat datang, Lyra.”

“Aku... aku menguburmu. Aku sendiri yang—”

“Yang mengubur sisa-sisa tubuh lain dan mengira itu aku.”

Naerys dan Alden saling berpandangan. Suasana di ruangan menjadi tegang, seolah udara menahan napas.

“Kau membentuk pasukan atas namaku?” tanya Lyra.

“Tidak. Aku membentuknya atas nama apa yang kau wakili. Aku hidup, Lyra. Aku melihat dunia membusuk, melihat harapan diremukkan. Dan saat namamu mengguncang Ordo... aku tahu inilah waktunya.”

“Untuk membalas dendam?” desis Lyra.

Aeris tidak tersenyum.

“Untuk menciptakan tatanan baru. Tapi berbeda darimu, aku tidak percaya kita bisa memperbaiki dunia ini dari dalam. Dunia lama harus mati. Baru dari debu, kita bangun yang benar.”

“Mereka menyembahmu, tahu tidak?” Aeris melanjutkan, melangkah lebih dekat. “Mereka hafal pidatomu, cita-citamu. Tapi mereka tak tahu kau telah lelah. Kau ingin damai... saat dunia belum selesai berperang.”

“Karena jika kita terus membalas, kita jadi cermin musuh kita sendiri,” balas Lyra tegas. “Aku tidak mau jadi legenda jika itu berarti membunuh anak-anak demi simbol.”

Aeris mendekat, wajahnya tegang. “Kau tahu siapa yang kubunuh? Orang yang sama yang dulu menyeret ibu kita keluar dari gua persembunyian. Orang yang memberi perintah menyerang kamp kita. Mereka bukan korban.”

“Tapi mereka punya anak. Mereka punya istri. Sama seperti ibu kita dulu,” balas Lyra pelan. “Kalau kita terus memilih siapa yang pantas mati... siapa yang akan tersisa untuk hidup?”

Diam panjang.

Alden, yang tak tahan lagi, menyela, “Apa kau berniat menyerang Selatan?”

Aeris menatapnya. “Bukan menyerang. Membebaskan. Tapi kalau mereka menolak... kami siap memaksa.”

Lyra berdiri di tengah ruangan, antara masa lalu dan masa depan. Ia menatap adiknya lama, seperti mencoba mengenali siapa sebenarnya di hadapannya.

“Aku datang bukan untuk membunuhmu. Tapi untuk menghentikan kau menjadi sesuatu yang lebih berbahaya dari yang kita perangi dulu.”

Aeris mengangguk pelan. “Dan aku tidak akan menjatuhkan pedang... hanya karena darah kita sama.”

Keduanya berjalan menjauh, berbalik.

“Dua minggu,” kata Aeris. “Dalam dua minggu, kami bergerak. Jika kau ingin menghentikanku, datanglah ke dataran Tevran. Di sana dunia akan memilih.”

Malam itu, Lyra duduk sendirian di luar kamp mereka, memandangi aurora yang perlahan muncul di langit utara. Naerys mendekat tanpa suara.

“Kau baik-baik saja?”

“Adikku hidup. Tapi dia bukan lagi anak yang dulu main pasir bersamaku di belakang tenda.”

“Mungkin kau juga bukan kakak yang dia kenal,” gumam Naerys. “Tapi bukan berarti kalian tak bisa menemukan jalan yang baru.”

“Atau saling menghancurkan,” bisik Lyra.

Naerys tidak menjawab. Hanya duduk di sebelahnya, mendampingi.

“Lucu,” kata Lyra. “Aku pernah bermimpi membangun dunia tanpa perang. Sekarang... aku harus memilih untuk memulai satu.”

“Kadang... untuk menjaga damai, seseorang harus jadi iblisnya sendiri,” jawab Naerys pelan.

Dan salju pun terus turun, menyelimuti jalan menuju pertempuran yang belum terjadi. Dua darah, dua jalan, satu takdir. Dan dunia menunggu, dalam diam yang rapuh.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report