The Shattered Light
Chapter 141: – Arang dalam Abu

Chapter 141: – Arang dalam Abu

Api kecil berkedip-kedip di tengah-tengah reruntuhan desa tua itu.Angin malam menyapu abu yang tersisa dari kebakaran kecil yang tak pernah sempat dipadamkan.

Kaelen duduk sendirian di tepi api itu, matanya kosong menatap bara merah yang perlahan sekarat.Serina, Lyra, dan Alden berdiri sedikit menjauh, berbicara dalam bisik-bisik.

"Dia belum bicara sejak kita keluar dari gua," gumam Serina, lengan kanannya masih diperban kasar.

"Apa yang bisa dia katakan?" Alden menggeleng, suaranya pahit. "Dia membunuh sahabatnya sendiri."

Lyra memandang Kaelen dengan mata berkaca-kaca.

"Dia menyelamatkan kita semua," bisiknya. "Kalau tidak... kita semua sudah jadi bayangan."

"Tetap saja," balas Alden, lebih pelan. "Ada hal yang tidak bisa diperbaiki, Lyra. Bahkan oleh Kaelen."

Mereka semua terdiam.

Api kecil itu mengerang pelan, seolah mengeluhkan beban dunia yang terlalu berat.

Akhirnya, Serina mendekat.Dia menjatuhkan dirinya duduk di samping Kaelen tanpa berkata apa-apa.

Mereka hanya duduk begitu, bersebelahan, dalam sunyi yang berat.

Setelah lama, Kaelen akhirnya berbicara.

"Aku pikir... aku akan merasa lega setelah semua ini."

Serina tidak menjawab. Dia menunggu.

"Tapi rasanya seperti ada sesuatu... yang hancur di dalam sini," lanjut Kaelen, menepuk dadanya dengan tangan gemetar.

"Itu namanya kehilangan, Kaelen," gumam Serina. "Bukan semua luka harus berdarah supaya terasa sakit."

Kaelen tertawa hambar.

"Aku membunuh sahabatku sendiri, Serina."

"Tidak," Serina memandangnya tajam. "Kau mengakhiri penderitaannya. Ada perbedaan."

Mata Kaelen berkaca-kaca, tapi dia menahan air matanya.

"Perbedaan itu tak membuatku merasa lebih manusia."

Lyra akhirnya mendekat juga, duduk di seberang api kecil itu.

Dia menggenggam jubahnya erat, berusaha meredam getaran di tangannya.

"Aku... aku harus bilang sesuatu," katanya, suara gemetar.

Kaelen mengangkat kepala, menatapnya.

"Apa?"

Lyra menelan ludah, lalu menguatkan dirinya.

"Aku... aku adalah putri Grandmaster Elvior."

Alden—yang baru saja datang membawa beberapa kayu bakar—menjatuhkan kayunya.Serina hanya menatap Lyra, rahangnya mengeras.

Kaelen tidak bereaksi.

Hanya menatapnya.

"Aku tak memilih darahku," kata Lyra terburu-buru. "Aku tak pernah mendukung Ordo Cahaya. Aku melawan mereka dengan seluruh hidupku."

"Mengapa sekarang baru bilang?" suara Alden tajam, penuh tuduhan.

"Karena aku takut," kata Lyra, air matanya mengalir sekarang. "Takut kalian akan membuangku. Takut kehilangan... satu-satunya tempat yang kutemukan... yang benar-benar memanggilku keluarga."

Kaelen akhirnya bicara.

Suara itu rendah. Serak.

"Kau harusnya percaya kami."

"Aku tahu," isak Lyra. "Dan aku... aku minta maaf."

Hening panjang.

Angin malam menggigit kulit mereka, tapi tak ada yang bergerak.

Serina bersuara, dingin dan tegas.

"Kaelen. Apa yang akan kau lakukan?"

Semua mata beralih ke Kaelen.

Ia menarik napas panjang.Memandang Lyra—melihat rasa takut, penyesalan, dan cinta sekaligus di matanya.

Lalu ia menatap Alden dan Serina—satu keluarga yang tersisa baginya.

Akhirnya, dia berbicara.

"Aku bilang aku ingin membangun dunia baru."

Tangannya mengepal di atas lutut.

"Dunia baru tak bisa dibangun di atas kebohongan... tapi juga tak bisa dibangun di atas penghukuman buta."

Ia menatap Lyra, dalam-dalam.

"Kau tetap bersama kami. Tapi mulai sekarang, kita jujur. Tentang segalanya."

Air mata Lyra mengalir deras.

Dia mengangguk keras.

"Aku bersumpah."

Alden masih tampak tak sepenuhnya percaya.Tapi dia tidak membantah.

Dan Serina... Serina hanya mengangguk, perlahan.

Mereka berempat duduk kembali, membiarkan keheningan menyelimuti mereka.

Di langit, bintang-bintang perlahan bermunculan, malu-malu di balik awan tipis.

Kaelen menutup matanya sejenak.

Di dalam pikirannya, wajah Taren muncul.

Senyumnya. Tawanya. Keyakinannya.

Kaelen tahu, tak peduli seberapa banyak mereka menang, luka-luka itu akan tetap bersamanya.Akan membentuk siapa dia.

Tapi malam ini, ia berjanji.

Tidak akan ada lagi kebohongan.Tidak akan ada lagi penundaan.Hanya kebenaran, seburuk apa pun itu.

Karena tanpa kebenaran... dunia baru mereka akan hancur sebelum sempat lahir.

Saat api kecil itu hampir padam, Kaelen mengambil sepotong arang yang masih menyala.

Ia menggenggamnya sebentar, merasakan panas dan nyeri yang mengingatkannya bahwa ia masih hidup.

Kemudian ia melemparkan arang itu ke dalam kegelapan.

"Ayo tidur," katanya.

"Besok," lanjutnya, "kita mulai membangun dari abu ini."

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report