The Shattered Light -
Chapter 142: – Percikan Harapan
Chapter 142: – Percikan Harapan
Pagi datang perlahan, membelah langit yang masih dibungkus abu dan kabut tipis.Cahaya fajar memantul di reruntuhan dunia yang telah hancur—namun di tengah puing-puing itu, ada sesuatu yang bertahan: keinginan untuk bangkit.
Kaelen berdiri di bukit kecil di pinggiran desa mati itu.Serina, Alden, dan Lyra berdiri tak jauh darinya, menunggu.
Semalam mereka membuat keputusan: Dunia baru harus dimulai.Hari ini, mereka akan mengambil langkah pertamanya.
Kaelen memandang ketiga orang di hadapannya.
"Kita tak bisa bertahan sendirian. Dunia ini lebih besar dari kita berempat."
Suara Kaelen tegas, tapi lelah.
"Kita butuh sekutu," lanjutnya. "Orang-orang yang selamat, yang tak tunduk pada Ordo Cahaya ataupun Kegelapan."
Alden mengangguk perlahan.
"Aku tahu beberapa desa di selatan. Mereka dulu menolak tunduk... mungkin mereka masih bertahan."
"Kalau tidak?" tanya Serina tajam.
"Kalau tidak..." Alden menghela napas, "kita meyakinkan mereka. Dengan kata-kata... atau dengan kekuatan."
Kaelen menggeleng pelan.
"Aku ingin dunia ini dibangun di atas kepercayaan, bukan paksaan."
Serina mengangkat satu alis.
"Kau masih berpikir kepercayaan cukup?"
"Aku harus percaya," jawab Kaelen. "Atau semua ini sia-sia."
Diam sejenak.
Lalu Lyra melangkah maju, suaranya ragu.
"Aku bisa... membantu."
Mereka bertiga menatapnya.
Lyra menunduk sedikit.
"Masih ada sisa simpatisan... bahkan dari Ordo Cahaya. Tidak semua dari mereka ingin melihat dunia ini terbakar. Beberapa hanya takut."
Kaelen memperhatikan Lyra lama.
"Bisa kau percayai mereka?"
"Tidak," jawab Lyra jujur. "Tapi aku tahu bahasa mereka. Aku tahu ketakutan mereka."
Serina tampak tak yakin, tapi Kaelen akhirnya mengangguk.
"Baik. Kita mulai dengan mencari mereka."
Mereka berjalan menyusuri jalur kecil yang berkelok-kelok menuruni bukit.Langkah mereka berat, bukan karena jarak, tapi karena beban tak kasatmata yang mereka bawa.
Dalam perjalanan, suasana tegang terus menggantung.
Serina berjalan paling depan, matanya awas, tangan selalu dekat ke busurnya.Lyra berjalan di tengah, seolah ingin menghindari pandangan Alden.Dan Kaelen... berjalan paling belakang, mengawasi semuanya.
Di sela perjalanan, Kaelen mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan Lyra.
"Terima kasih," katanya pelan.
Lyra menoleh, terkejut.
"Untuk apa?"
"Untuk tidak menyerah," jawab Kaelen.
Lyra tersenyum kecil, getir.
"Aku nyaris menyerah, Kaelen. Berkali-kali."
"Kita semua," kata Kaelen. "Tapi kita masih di sini."
Sore itu, mereka tiba di desa pertama: Vardel.
Dulunya desa ini ramai, pusat perdagangan kecil di lembah selatan.Kini, hanya ada bayangan.
Rumah-rumah kosong berdiri seperti hantu.Asap tipis mengepul dari beberapa cerobong, tanda bahwa ada orang yang masih bertahan—atau bersembunyi.
"Hati-hati," bisik Serina.
Mereka memasuki desa perlahan, langkah mereka bergema di jalanan berbatu.
Di depan balai desa yang setengah runtuh, akhirnya seseorang muncul: seorang lelaki tua, membawa tongkat berat dan sorot mata tajam.
"Siapa kalian?" suaranya serak, penuh kecurigaan.
Kaelen melangkah maju.
"Bukan musuh. Bukan Ordo. Kami di sini untuk menawarkan pilihan."
Orang tua itu menyipitkan mata.
"Pilihan? Pilihan mati, atau pilihan tunduk?"
"Pilihan hidup," kata Kaelen tegas. "Pilihan untuk membangun dunia tanpa tirani."
Orang tua itu tertawa pendek, getir.
"Anak muda, sudah banyak yang datang bawa janji. Mereka semua berakhir sama. Tangan penuh darah."
Kaelen maju satu langkah lagi.
"Aku tak minta kepercayaanmu hari ini. Aku minta kesempatan membuktikannya."
Hening.
Lalu perlahan, dari balik reruntuhan rumah, lebih banyak orang muncul—wanita tua, anak-anak muda, bahkan beberapa tentara yang sudah menanggalkan lambang lama mereka.
Mereka mendengarkan.
Mereka menunggu.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kaelen merasa ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut: harapan.
Malam itu, api besar dinyalakan di tengah desa.
Mereka duduk melingkar, makan bersama makanan sederhana: roti keras, sedikit sup.Tapi rasa lapar bukan hanya di perut mereka.Itu lapar akan sesuatu yang lebih... lapar akan masa depan.
Alden berbicara dengan para prajurit muda.Serina melatih beberapa anak cara menembakkan busur.Lyra duduk bersama para wanita, menceritakan dunia di luar desa, dunia yang masih bisa diselamatkan.
Dan Kaelen?
Kaelen duduk di tengah semuanya, mendengarkan.
Mengamati.
Merasakan.
Untuk pertama kalinya, ia melihatnya: percikan kecil di mata orang-orang itu.Bukan api kebencian.
Tapi api harapan.
Malam itu, Kaelen menulis sesuatu di atas tanah dengan tongkat.
Sebuah lambang.
Bukan lambang perang.
Tapi lambang hidup.
Di belakangnya, Serina mendekat.
"Masih berpikir dunia ini bisa diselamatkan?"
Kaelen menatap api yang menari-nari dalam gelap.
"Bukan dunia ini, Serina."
Ia tersenyum tipis.
"Dunia yang akan kita ciptakan."
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report