The Shattered Light
Chapter 140: – Api dan Abu

Chapter 140: – Api dan Abu

Udara di dalam Gua Abis semakin berat.Setiap tarikan napas terasa seperti menelan debu dan bayangan.

Kaelen berdiri, matanya mengunci pada Taren.Di belakang sahabat lamanya, bayangan-bayangan lain bermunculan—orang-orang yang dulu mereka kira telah mati, kini hidup kembali sebagai boneka kegelapan.

"Taren," seru Kaelen, suaranya bergetar antara amarah dan kesedihan. "Ini bukan dirimu."

Taren tertawa pelan.Suara itu memantul di dinding gua, terdengar seperti banyak suara yang bergema sekaligus.

"Ini adalah aku yang sebenarnya, Kaelen. Dunia ini menipu kita. Menjanjikan cahaya... lalu membiarkan kita membusuk dalam kegelapan."

Serina melangkah maju, busurnya siap, ujung anak panahnya bergetar sedikit.

"Kau memilih ini. Kau menyerah!"

"Aku memilih bebas!" raung Taren, dan seketika bayangan-bayangan itu mulai bergerak.

Pekik pertama terdengar saat dua sosok melompat ke arah Kaelen.Dengan refleks tajam, Kaelen mengayunkan pedangnya, memotong udara — dan bayangan — dalam satu gerakan cepat.

Alden berteriak dari sisi kanan.

"Mereka lebih cepat dari manusia biasa!"

Lyra mengerahkan kekuatan cahaya kecil dari telapak tangannya, menahan dua makhluk yang mencoba menyerangnya.

"Kita harus pisahkan mereka! Satu lawan satu!"

Serina menembakkan tiga anak panah berturut-turut, satu mengenai dada salah satu makhluk itu, membuatnya meleleh menjadi kabut hitam.

"Sasar jantung mereka!" teriak Serina.

Kaelen mengangguk.

Dengan gerakan terlatih, dia menyerbu maju, langsung menghadap Taren.

Pedang mereka beradu dalam kilatan cahaya yang memantul di dinding batu.Percikan api beterbangan.

"Kau selalu keras kepala, Kaelen," kata Taren di sela-sela tebasan.

"Dan kau," Kaelen membalas, "selalu terlalu mudah menyerah."

Taren menyerang dengan kekuatan yang mengerikan, kekuatan yang bukan sepenuhnya miliknya.Kaelen merasakan setiap hantaman seperti dihantam oleh gelombang badai.

"Lihat sekelilingmu!" Taren meraung. "Dunia tidak butuh pahlawan. Dunia butuh mereka yang kuat, yang siap membakar semua ilusi dan membangun dari abu!"

Kaelen menghindar dari serangan mematikan, lalu membalas dengan serangan yang memotong lengan kiri Taren.

Taren mundur, darah hitam menetes dari lukanya.

Sementara itu, Serina dan Alden bertarung mati-matian.Lyra melindungi mereka dari bayangan dengan lingkaran cahaya rapuh yang terus bergetar, hampir runtuh.

Kaelen berdiri berhadapan dengan Taren yang terluka.

Di mata temannya, ada kilatan—hanya sesaat—dari pria yang dulu ia kenal.

"Taren," Kaelen berkata, suaranya hampir berbisik. "Kau masih bisa kembali."

Taren tertawa getir, batuk darah.

"Kembali? Tidak ada jalan kembali, Kaelen. Tidak setelah apa yang telah kulakukan."

"Kita semua punya dosa," kata Kaelen, menurunkan pedangnya sedikit. "Tapi kita memilih apakah dosa itu menguasai kita... atau tidak."

Taren tampak ragu.

Bayangan di belakangnya bergerak, seolah ingin meraihnya, menariknya kembali.

Dan untuk sesaat, Kaelen melihat... keraguan di mata temannya.

Tapi hanya sesaat.

Taren meraung dan melempar dirinya ke Kaelen dengan kekuatan terakhirnya.

"Kalau begitu, kita berakhir di sini!" teriaknya.

Kaelen mengencangkan cengkeramannya, memiringkan tubuh, dan dengan satu gerakan bersih, menancapkan pedangnya ke dada Taren.

Sunyi.

Taren tersentak, matanya melebar.

Darah hitam mengalir di mulutnya.

Kaelen menahan tubuh temannya saat ia jatuh, perlahan, berat.

Taren berbisik, hampir tak terdengar.

"Aku... aku hanya ingin dunia... tempat kita bisa bebas..."

"Aku tahu," kata Kaelen pelan. "Aku tahu."

Taren tersenyum samar—dan dalam pelukan Kaelen, dia menghembuskan napas terakhirnya.

Saat Taren mati, bayangan-bayangan lain mulai mengerang, tubuh mereka bergetar hebat.Tanpa pemimpin, ikatan gelap yang menghubungkan mereka mulai runtuh.

Satu per satu, mereka hancur menjadi abu di udara.

Lyra jatuh berlutut, napasnya terengah.

Serina dan Alden, terluka, tapi berdiri tegak di tengah kekacauan.

Kaelen berdiri, tubuhnya kaku, hatinya berat.

Di sekeliling mereka, gua mulai runtuh, batu berjatuhan dari langit-langit.

"Kita harus keluar!" teriak Serina.

Mereka berlari, menembus debu dan reruntuhan, membawa tubuh yang lelah dan hati yang lebih lelah lagi.

Saat mereka mencapai mulut gua, dunia di luar diselimuti sinar merah dari matahari terbenam.

Mereka berdiri di sana, terengah-engah, menatap satu sama lain.

Tidak ada yang berbicara.

Tidak perlu.

Mereka semua tahu.

Mereka menang.

Tapi mereka juga kalah sesuatu yang tidak bisa mereka kembalikan.

Saat malam jatuh di dunia baru mereka, Kaelen duduk sendirian, memandang bintang-bintang.

Taren sudah tiada.

Tapi kata-katanya... masih bergema di hatinya.

Dan Kaelen bertanya pada dirinya sendiri:

Apakah benar mereka bisa membangun dunia baru?

Atau mereka hanya menunda kehancuran yang tak terelakkan?

Dengan berat, Kaelen menggenggam gagang pedangnya, menatap langit malam.

Karena perang sesungguhnya... belum selesai.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report