The Shattered Light
Chapter 139: – Jerat Kegelapan

Chapter 139: – Jerat Kegelapan

Angin dingin meniup tirai rusak di balai desa, membawa masuk aroma tanah basah dan sesuatu yang lain...Sesuatu yang lebih berat.Lebih gelap.

Kaelen berdiri di depan peta kasar desa yang dipaku di dinding.Jarum-jarum kayu kecil bertanda lokasi orang-orang yang baru saja mereka percayai — dan kini harus diawasi.

Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat.Serina, Lyra, dan Alden.

"Kita dalam masalah," kata Serina tanpa basa-basi.

Kaelen berbalik perlahan.

"Berapa banyak lagi?"

Alden menjawab, suaranya datar.

"Tiga orang hilang lagi semalam. Tidak ada jejak. Tidak ada perlawanan."

Lyra memeluk dirinya sendiri, wajahnya cemas.

"Ini... bukan sekadar penculikan. Ini... penghilangan. Seolah-olah mereka diserap oleh sesuatu."

Kaelen mengepalkan tinjunya.Rasa bersalah menusuk dadanya — seperti belati tumpul yang diputar perlahan.

Malam itu, rumor beredar lebih cepat daripada penjaga yang bertugas.

Kaelen mendengar percakapan sumbang dari sudut-sudut gelap:

"Mungkin para pemimpin kita yang menyerahkan mereka...""Kau lihat Kaelen? Selalu berkeliaran saat orang hilang...""Mereka bilang Lyra punya darah dari Cahaya... siapa tahu dia yang membuka pintu bagi bayangan?"

Kaelen mengetatkan rahangnya saat mendengar itu.

"Ketakutan membuat orang buta," gumam Serina, berdiri di sampingnya.

"Tak butuh musuh luar kalau kita sudah membunuh kepercayaan satu sama lain," balas Kaelen.

Lyra menunduk, suaranya pecah.

"Mungkin aku harus pergi. Setidaknya... kalau aku tidak di sini, mereka berhenti curiga."

Kaelen langsung menatapnya, keras.

"Jangan pernah bilang begitu lagi."

Alden mengangguk setuju.

"Kalau kita berpecah... kita kalah."

Di ruang pertemuan kecil mereka, Kaelen merentangkan peta lagi.

Ia menunjuk satu titik: Gua Abis, di luar batas desa.Tempat yang dulu hanya cerita horor untuk menakut-nakuti anak-anak.

"Aku yakin," kata Kaelen, "sumber kekacauan ini berasal dari sana."

Serina mengerutkan alis.

"Gua Abis? Itu bunuh diri, Kaelen. Bahkan sebelum perang, tidak ada yang kembali dari sana."

"Justru itu," jawab Kaelen. "Kalau musuh bersembunyi, mereka akan pilih tempat yang tak tersentuh."

Lyra berbicara perlahan.

"Kalau itu jebakan?"

"Kalau kita diam di sini," balas Kaelen, "kita tetap akan hancur perlahan. Lebih baik kita lawan mereka di medan pilihan kita."

Sunyi.

Semua menatap satu sama lain.

Akhirnya, Alden mengangguk.

"Kalau kita pergi, kita semua pergi. Tidak ada yang tertinggal."

Mereka berangkat sebelum fajar.

Kabut menggantung rendah, menelan dunia dalam putih pekat.

Langkah-langkah mereka hampir tak bersuara di tanah basah.

"Aku benci tempat ini," gumam Alden, memegang erat gagang kapaknya.

"Semua orang waras membencinya," jawab Serina, matanya tajam, anak panah siap di busurnya.

Lyra berjalan dekat Kaelen, jarak di antara mereka seolah rapat oleh ketakutan bersama.

"Kaelen," bisiknya, "kalau kita tidak kembali—"

"Kita akan kembali," potong Kaelen, nadanya tidak sekadar janji, tapi keyakinan yang dipaksakan.

"Kalau tidak..." Lyra memaksa dirinya bicara, "Aku ingin kau tahu... aku tidak menyesal memilih bertarung bersamamu."

Kaelen menoleh cepat, matanya beradu dengan mata Lyra yang penuh ketulusan.

Ia ingin menjawab.

Ingin berkata bahwa ia juga merasa sama.

Tapi waktu mereka habis.

Dari depan, Serina mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti.

Di sana.

Mulut Gua Abis menganga, seperti rahang monster purba.

Dan dari dalam kegelapan... terdengar bisikan.

Mereka melangkah masuk dengan hati-hati.

Dinding gua terasa hidup — bergetar samar di bawah sentuhan.

Saat mereka menembus lebih dalam, suara bisikan makin keras.

Dan lalu, dari bayangan, sosok muncul.

Kaelen menghunus pedangnya.

"Siapa di sana?!"

Sosok itu melangkah ke dalam cahaya redup lentera.

Kaelen membeku.

Lyra menahan napas.

Itu...

Itu adalah Taren.

Teman lama mereka yang dikira sudah mati dalam serangan Ordo Cahaya berbulan-bulan lalu.

Tapi matanya...Bukan lagi mata seorang sahabat.

Mereka hitam — penuh kegelapan cair.

"Kau tidak mengerti, Kaelen," bisiknya. "Aku tidak mati. Aku... terlahir kembali."

Serina membidik busurnya.

"Jangan dekati kami, Taren."

Taren tersenyum—senyum yang membuat darah membeku.

"Kalian pikir kalian bisa membangun dunia baru? Dunia tanpa kegelapan? Itu... mimpi yang sudah mati. Kegelapan ada dalam darah kita. Dalam tulang kita."

Kaelen maju satu langkah.

"Aku tidak percaya itu."

"Kau akan," kata Taren. "Atau kau akan hancur mencoba menyangkalnya."

Suara gemuruh terdengar dari dalam gua.Dinding bergetar.

Dan di balik Taren... bayangan-bayangan lain bermunculan.

Mereka bukan sendirian.

Ini bukan sekadar pertempuran untuk desa.

Ini perang untuk jiwa dunia.

Dan Kaelen tahu — dia harus menang.Bukan hanya dengan kekuatan.

Tapi dengan harapan yang bertahan di dalam dirinya.

Bahkan saat bayangan mencoba menelannya bulat-bulat.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report