The Shattered Light
Chapter 138: – Bisikan dalam Gelap

Chapter 138: – Bisikan dalam Gelap

Malam di desa terasa lebih berat dari biasanya.Angin berdesir membawa suara-suara aneh yang terdengar seperti bisikan dari balik bayang-bayang.

Kaelen berdiri di balkon balai utama, matanya mengawasi api unggun yang perlahan redup di tengah desa.Setiap suara, setiap bayangan kecil, membuat hatinya berdegup lebih keras.

Lyra muncul di belakangnya, membungkus dirinya dengan selimut tipis.

"Mereka takut," katanya pelan.

Kaelen tidak menjawab.

"Mereka tidak hanya takut akan kegelapan," lanjut Lyra, suaranya rendah. "Mereka takut satu sama lain."

Kaelen akhirnya menoleh, menatap mata Lyra yang tampak lelah.

"Karena ada alasan untuk itu," katanya. "Kita tidak tahu siapa yang masih bersama kita... dan siapa yang sudah menyerah pada kegelapan."

Pagi itu, mereka memanggil pertemuan darurat di balai desa.

Orang-orang berkumpul, wajah mereka penuh kecemasan.Bisikan-bisikan memenuhi ruangan.

Serina berdiri di atas panggung kecil, bersama Kaelen dan Alden.

"Beberapa dari kita," kata Serina, suaranya keras dan jelas, "menghilang. Beberapa mati. Dan kita tahu... ada pengkhianat di antara kita."

Gema kata itu — pengkhianat — menyebar seperti api.

Orang-orang mulai saling menatap dengan curiga.

Alden melangkah maju.

"Kita tidak menuduh sembarangan," katanya. "Tapi kita butuh kewaspadaan. Mulai hari ini, setiap kelompok patroli berisi tiga orang. Tidak ada yang bergerak sendirian."

Tangan terangkat di antara kerumunan.Seorang pria muda — Evin, salah satu petani — berbicara.

"Bagaimana kita tahu kalian tidak menyembunyikan sesuatu dari kami? Kalian selalu berbisik di ruangan tertutup!"

Suasana memanas.

Kaelen turun dari panggung, berjalan pelan ke tengah kerumunan.

"Kalau kalian tidak percaya kami," katanya datar, "maka kita sudah kalah bahkan sebelum pertempuran dimulai."

Sunyi.

"Aku tidak meminta kepercayaan buta," lanjutnya. "Aku hanya meminta waktu. Sedikit saja. Untuk menemukan siapa yang berusaha menghancurkan kita dari dalam."

Malam itu, Kaelen, Lyra, Serina, dan Alden melakukan pencarian diam-diam.

Mereka mulai dari rumah-rumah kosong yang dulu digunakan oleh para korban selamat.

Di salah satu gubuk tua di tepi desa, Kaelen menemukan sesuatu.

Lambang Voren.Terlukis samar di bagian bawah meja kayu, nyaris tak terlihat kecuali jika kau benar-benar mencarinya.

Serina mendekat, memeriksanya dengan seksama.

"Ini baru," gumamnya. "Belum lama dibuat."

Lyra berlutut di samping mereka.

"Ini bukan hanya simbol. Ini... mantra penghubung. Semacam tanda pemanggil."

Kaelen merasa perutnya mengeras.

"Berarti ada seseorang di antara kita yang masih berusaha membangkitkan kegelapan."

Alden menghela napas berat.

"Kita harus bertindak sebelum mereka bertindak duluan."

Malam berikutnya, penjagaan diperketat.

Tapi ketakutan... itu tidak bisa dikurung.

Kaelen memeriksa daftar penjaga. Ia menyadari satu hal aneh.

Nama Arven — seorang pemburu muda — muncul dua kali di dua tempat berbeda.

Kaelen bertukar pandang dengan Serina.

"Kita harus memeriksanya."

Mereka menemukan Arven di dekat gudang makanan.

Ketika melihat Kaelen mendekat, Arven bereaksi.

Terlalu cepat.

Terlalu bersalah.

Kaelen bergerak seperti bayangan, menjatuhkan Arven ke tanah sebelum pria itu sempat melarikan diri.

"Kenapa kau berbohong soal pos jagamu?" bentak Serina.

Arven bergumam, mencoba menghindar.

Alden datang membawa kantung kecil yang jatuh dari ikat pinggang Arven.

Di dalamnya — secarik kertas bertulis mantra kuno, sama seperti yang ditemukan Kaelen.

Lyra menatapnya dengan ngeri.

"Dia... bagian dari mereka."

Arven menggeram, berusaha bangkit, tetapi Kaelen menekannya ke tanah.

"Siapa lagi?" tanya Kaelen dingin. "Siapa yang membantumu?"

Arven tersenyum tipis, darah menetes dari sudut bibirnya.

"Kalian pikir kalian menang? Kalian hanya mengulur waktu. Kegelapan... sudah mengakar di sini. Di hati kalian semua."

Kaelen menatapnya, merasa amarah dan kesedihan bercampur jadi satu.

Di balai desa, orang-orang menuntut hukuman untuk Arven.

"Gantung dia!" teriak beberapa.

"Bakar dia!" yang lain menjerit.

Kaelen berdiri di tengah mereka, tubuhnya terasa berat.

Lyra berbisik di sampingnya.

"Kalau kita bertindak dengan kemarahan... kita tidak lebih baik dari dia."

Kaelen menutup mata sejenak.

Mengingat semua yang sudah hilang.

Lalu ia membuka mata, dan berkata,

"Arven akan diasingkan. Kita tidak akan membunuhnya."

"Tapi dia akan kembali!" teriak seseorang.

"Mungkin," kata Kaelen. "Tapi kalau kita mulai membunuh satu sama lain karena ketakutan... maka kita sudah kalah."

Suasana hening. Berat.Tapi perlahan, satu per satu, orang-orang mundur.

Arven diikat dan dibawa keluar desa, dibiarkan di jalanan berbatu yang mengarah ke hutan.

Malam itu, desa terasa lebih dingin dari biasanya.

Di atas menara jaga, Kaelen dan Lyra duduk berdampingan.

Mereka menatap langit berbintang yang kini terasa begitu jauh.

"Berapa banyak yang harus kita korbankan sebelum ini berakhir?" tanya Lyra pelan.

Kaelen tidak tahu jawabannya.

Tapi ia tahu satu hal:Bayangan di balik fajar tidak akan pergi dengan sendirinya.

Mereka harus menghadapinya.

Bersama.

Apa pun harga yang harus mereka bayar.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report