The Shattered Light -
Chapter 134: – Perburuan dalam Bayangan
Chapter 134: – Perburuan dalam Bayangan
Udara pagi masih dingin saat Kaelen, Serina, Lyra, dan Alden berkumpul di tepi hutan hitam yang mengelilingi desa baru mereka. Kabut tipis melayang di atas tanah, membuat bayang-bayang pepohonan terlihat lebih panjang dan mengancam.
Kaelen menarik tudung mantelnya, matanya mengamati sekeliling dengan waspada.
"Mereka di luar sana," katanya pelan. "Mengamati. Menunggu."
Serina menyesuaikan busurnya di punggung.
"Kita akan membuat mereka berhenti menunggu."
Lyra menatap Kaelen, lalu pada hutan yang membentang di depan mereka.
"Kalau kita masuk terlalu dalam tanpa rencana, kita justru menjadi mangsa."
Alden menyeringai, meski matanya tetap siaga.
"Aku lebih suka jadi pemburu daripada buruan."
Di balik gubuk tua yang mereka pakai sebagai markas darurat, Kaelen menggelar peta lusuh di atas meja kayu.
"Ini jalur patroli biasa," katanya, menunjuk garis merah yang ia gambar. "Dan ini... tempat mereka paling sering menghilang."
Serina mengernyit.
"Daerah berbatu di sebelah barat. Banyak gua. Tempat sempurna untuk bersembunyi."
Lyra meletakkan jarinya di satu titik.
"Kita pancing mereka ke sini," katanya. "Tanahnya lebih terbuka. Kita bisa kendalikan pertempuran."
Kaelen mengangguk.
"Kita perlu membuat mereka percaya bahwa kita rentan."
Alden tertawa pendek.
"Akhir-akhir ini kita memang kelihatan cukup berantakan."
Serina menyikutnya ringan.
"Itu bukan pujian."
Malam itu, dengan hanya rembulan sebagai saksi, mereka bergerak.
Kaelen dan Alden berpura-pura berpatroli, berjalan dengan langkah berat, seolah lelah dan tidak siap. Sementara itu, Serina dan Lyra bersembunyi di semak-semak, busur siap di tangan.
Suara ranting patah membuat Kaelen menghentikan langkah.
Alden berbisik.
"Ada yang mengikuti."
Kaelen mengangguk pelan, menggenggam pedangnya lebih erat.
Dari kegelapan, tiga sosok berkerudung muncul. Langkah mereka nyaris tanpa suara, seperti bayangan.
"Sekarang," desis Kaelen.
Panah pertama melesat dari kegelapan—mengenai satu musuh tepat di bahu, membuatnya terhuyung.
Sebelum yang lain sempat bereaksi, Kaelen dan Alden sudah bergerak.
Alden menghantam salah satu musuh dengan perisainya, menjatuhkan pria itu ke tanah.
Kaelen berhadapan dengan yang ketiga—gerakannya cepat dan terlatih, tapi Kaelen lebih cepat.
Pedangnya menangkis serangan belati musuh, lalu menekuk pergelangan tangan lawannya hingga pria itu menjatuhkan senjata.
"Siapa kau?" gertak Kaelen.
Musuh itu hanya menatapnya dengan mata penuh kebencian.
Serina mendekat, ujung anak panahnya mengarah ke dada pria itu.
"Jawab. Atau aku buat kau bicara."
Pria itu menggeram.
"Kami... bayangan dari dunia lama. Dan kalian... akan jatuh, seperti semua yang mencoba melawan arus takdir."
Lyra mendekat, keningnya berkerut.
"Siapa yang memimpin kalian?"
Pria itu tersenyum miring.
"Kami tidak punya pemimpin. Hanya kepercayaan. Kau tak bisa membunuh kepercayaan."
Kaelen merasakan bulu kuduknya berdiri.
Ini bukan sekadar faksi yang tersisa.
Ini ideologi.
Dan itu jauh lebih berbahaya.
Mereka mengikat para tahanan, membawanya kembali ke desa.
Dalam interogasi yang panjang di bawah pondok kosong, mereka mengetahui lebih banyak.
"Mereka bukan hanya sisa Ordo Cahaya," kata Lyra sambil membolak-balik catatan yang diambil dari salah satu tahanan. "Mereka... anak-anak baru. Generasi yang dibesarkan di reruntuhan kita. Dipenuhi kebencian."
Kaelen menatap api unggun kecil di depan mereka, pikirannya berat.
"Kita menghancurkan menara mereka," gumamnya. "Tapi kita juga membangun rasa haus balas dendam."
Serina, duduk di sudut, mengangguk pelan.
"Siklus kebencian. Kita korban dan pelaku dalam satu waktu."
Alden mendengus.
"Jadi apa kita hanya duduk diam dan membiarkan mereka menggigit kita satu per satu?"
Kaelen mengangkat kepalanya, tatapannya tajam.
"Tidak. Tapi kita juga tidak menjadi monster yang mereka kira."
Keesokan paginya, Kaelen berbicara di depan seluruh desa.
"Ada bahaya di luar sana," katanya keras. "Dan tidak semua dari mereka akan menyerang dengan pedang. Beberapa akan menyusup. Membisikkan keraguan. Memecah kita dari dalam."
Penduduk saling bertukar pandang, cemas.
Kaelen melanjutkan.
"Kita tidak melawan mereka hanya dengan kekuatan. Kita melawan mereka dengan kebenaran. Dengan komunitas. Dengan membangun sesuatu yang tidak bisa dihancurkan hanya dengan kebencian."
Serina berdiri di sampingnya, matanya berkilat.
"Kalau mereka ingin menghancurkan kita," katanya lantang, "biarkan mereka melihat bahwa yang kita bangun... lebih kuat dari rasa takut mereka."
Sorakan kecil menggema.
Masih rapuh. Tapi nyata.
Saat malam turun, Kaelen, Lyra, Serina, dan Alden berkumpul sekali lagi.
Mereka tahu: musuh tidak akan berhenti.
Tapi kali ini, mereka siap.
"Ini bukan perang singkat," kata Kaelen.
"Bukan," sahut Lyra, menggenggam tangannya. "Tapi kita sudah memilih jalan ini."
Serina mengangkat busurnya.
"Kalau perlu, aku akan memburu mereka ke ujung dunia."
Alden terkekeh.
"Bahkan ke neraka sekalipun."
Kaelen tersenyum kecil.
"Kalau begitu, mari kita mulai berburu."
Dan dengan langkah mantap, mereka melangkah ke dalam bayang-bayang, siap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Tapi kali ini... mereka tidak takut lagi.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report