The Shattered Light -
Chapter 135: – Jejak Darah
Chapter 135: – Jejak Darah
Angin dingin membawa bau logam yang samar — darah, dan sesuatu yang lebih tua, lebih busuk.
Kaelen berdiri di mulut gua gelap di sisi utara lembah, tubuhnya tegang. Di belakangnya, Serina, Lyra, dan Alden bersiap dengan senjata di tangan.
Tak ada yang bicara.
Mereka semua merasakan hal yang sama.
Sesuatu di dalam gua itu... salah.
"Kita harus masuk," kata Kaelen, suaranya datar, hampir tak bergetar.
Serina menarik napas dalam, meletakkan anak panah di busurnya.
"Kalau ini jebakan, aku ingin mati tahu siapa yang melakukannya."
Alden menepuk pundaknya.
"Selama aku bisa mati sambil mematahkan hidung seseorang, aku siap."
Lyra hanya mengangguk pada Kaelen, kepercayaan terpancar dari matanya.
Tanpa kata lagi, mereka masuk ke dalam.
Gua itu dingin, gelap, dan sempit. Dinding-dinding batu basah dan berlumut, menghamburkan bau apek yang menusuk hidung.
Setiap langkah bergema seperti ketukan drum perang yang semakin cepat.
Tak butuh waktu lama sebelum mereka menemukannya.
Mayat-mayat.
Tergantung di dinding dengan tali kasar, tubuh mereka dipenuhi tanda-tanda mutilasi brutal. Beberapa wajah masih menyimpan ekspresi ketakutan yang membekas, membeku di detik terakhir hidup mereka.
Lyra menutup mulutnya, menahan mual.
Alden bergumam pelan.
"Apa-apaan ini...?"
Kaelen berjalan mendekat, menahan dorongan untuk berpaling.
Ia mengenali beberapa dari mereka.
Orang-orang dari desa-desa sekitar.
Beberapa adalah teman seperjuangan mereka.
"Ini pesan," kata Kaelen, suaranya serak.
Serina mendekat, memeriksa simbol-simbol yang tergores di dinding batu, menggunakan darah sebagai tinta.
"Ini mantra kuno," gumamnya. "Pemanggilan... atau pengikatan."
Lyra menatapnya dengan ngeri.
"Mereka mencoba memanggil sesuatu?"
Kaelen menggeleng, wajahnya muram.
"Bukan memanggil. Mereka membangkitkan kebencian itu sendiri."
Mereka berkumpul dalam lingkaran kecil, jauh dari pandangan mayat-mayat.
Alden menggosok wajahnya, frustrasi.
"Kita berhadapan bukan hanya dengan orang gila, tapi fanatik yang mengubah kebencian menjadi senjata."
Serina menarik peta kasar dari sakunya.
"Kalau mereka berhasil membangkitkan sesuatu di sini... desa-desa lain akan menjadi korban berikutnya."
Lyra menatap Kaelen, suaranya pelan.
"Apa kita cukup kuat untuk menghentikan ini?"
Kaelen menatap kegelapan gua di hadapan mereka, rahangnya mengeras.
"Aku tidak tahu," katanya jujur. "Tapi kita tidak punya pilihan."
Mereka menemukan jejak lain—tetesan darah kering yang membentuk jalur samar lebih dalam ke dalam gua.
Tanpa ragu, Kaelen memimpin.
Langkah demi langkah.
Semakin dalam mereka masuk, semakin dingin udara, seolah-olah gua itu sendiri menolak kehadiran mereka.
Di suatu titik, suara—seperti bisikan ribuan lidah—mulai terdengar.
Serina mencengkeram busurnya erat.
"Aku benci suara itu."
Alden berbisik.
"Kalau suara itu mulai berbicara tentang dosa-dosaku, aku keluar."
Lyra tersenyum kecil meski ketakutan menggenggam hatinya.
"Kalau begitu, kau yang paling dulu ketahuan."
Mereka sampai di ruangan besar, dengan pilar-pilar alami batu menjulang di sekelilingnya.
Di tengah ruangan, seorang pria berdiri.
Bajunya robek dan bernoda darah, tapi matanya... matanya bersinar dengan kegilaan yang dingin.
Kaelen mengenalnya.
"Master Voren," bisiknya.
Serina tersentak.
"Dia... seharusnya mati di Perang Ketiga."
Voren tersenyum tipis.
"Mati? Tidak, Kaelen Draven. Aku hanya... berubah."
Kaelen maju, pedangnya terhunus.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Voren membuka kedua tangannya, seolah menyambut mereka.
"Membangun dunia baru. Dunia yang tidak memuja kekuatanmu. Dunia yang hanya mengenal satu hukum: kelangsungan hidup yang terkuat."
Lyra mengangkat suaranya.
"Dengan membunuh orang-orang tak bersalah?"
Voren menoleh padanya, suaranya lembut namun kejam.
"Mereka lemah. Mereka tidak pantas."
Kaelen mengeram.
"Kalau begitu kita datang untuk mengingatkanmu... bahwa masih ada orang yang berjuang untuk lebih dari sekadar kekuasaan."
Voren tertawa—dan dari kegelapan, makhluk-makhluk lain muncul.
Bukan manusia.
Bukan sepenuhnya makhluk hidup.
Mereka adalah hasil eksperimen Voren—ciptaan dari darah dan kebencian, wujud fisik dari rasa benci itu sendiri.
Kaelen mengangkat pedangnya.
"Bersiap."
Serina menarik tali busurnya, mata fokus.
Alden mengangkat perisai, tubuhnya menegang.
Lyra menarik belati dari ikat pinggangnya, berdiri di sisi Kaelen.
"Bersama," kata Kaelen. "Apa pun yang terjadi."
"Bersama," sahut mereka hampir serempak.
Dan saat makhluk-makhluk itu menyerbu ke arah mereka, di tengah gelap dan darah... mereka bertarung.
Bukan hanya untuk bertahan hidup.
Tapi untuk memastikan dunia baru yang mereka bangun tidak dilenyapkan sebelum sempat bernapas.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report