The Shattered Light -
Chapter 133: – Hantu Masa Lalu
Chapter 133: – Hantu Masa Lalu
Hembusan angin musim gugur membawa aroma tanah basah dan kayu terbakar saat Kaelen berdiri di tepi tebing kecil, menatap jauh ke lembah tempat desa baru mulai tumbuh perlahan.
Rumah-rumah kayu sederhana, tenda-tenda penuh warna, dan suara tawa anak-anak menggema di kejauhan—tanda-tanda pertama dari dunia yang mereka perjuangkan dengan darah dan air mata.
Namun di balik keindahan itu, Kaelen merasa ada sesuatu yang bergolak di bawah permukaan. Sesuatu yang belum selesai.
Serina muncul di sampingnya, berjalan dengan pincang ringan, tongkatnya menusuk tanah berbatu.
"Mereka membangun lebih cepat dari yang kuduga," katanya, menatap lembah. "Aku kira aku akan terharu... tapi malah merasa gelisah."
Kaelen mengangguk.
"Aku juga."
Serina menyipitkan mata.
"Ada sesuatu yang kau rasakan?"
Kaelen menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Bayangan masa lalu. Seperti... sesuatu yang belum selesai."
Serina tidak menertawakan firasat itu.
Ia tahu lebih dari siapa pun bahwa insting Kaelen jarang salah.
Malam itu, saat api unggun dinyalakan dan para penduduk baru merayakan keberhasilan pertama mereka, Lyra mendekati Kaelen.
"Ada seseorang yang mencari kau," katanya, nada suaranya hati-hati.
"Siapa?"
Lyra menggigit bibirnya sejenak.
"Seorang pria. Dia tidak mau menyebut nama. Tapi dia membawa ini."
Ia menyerahkan secarik kain hitam lusuh, yang dijahit dengan lambang kecil—sebuah mata dalam lingkaran.
Kaelen memucat.
Serina, yang duduk di dekat mereka, langsung menegakkan tubuhnya.
"Itu lambang—"
"Ordo Bayangan," potong Kaelen, suaranya dingin. "Aku pikir mereka sudah musnah."
Kaelen memutuskan untuk bertemu pria itu di luar desa, di tengah reruntuhan kuil tua yang sebagian sudah ditelan semak belukar.
Pria itu berdiri dalam bayang-bayang, jubahnya compang-camping, tapi posturnya tetap kokoh.
Saat Kaelen mendekat, pria itu melepas tudungnya, memperlihatkan wajah yang dipenuhi bekas luka.
"Kaelen Draven," katanya, suaranya berat. "Anak dari dua dunia yang saling membenci."
Kaelen menyilangkan tangan di dada.
"Langsung ke intinya."
Pria itu tersenyum tipis.
"Dunia ini belum bebas. Kau menghancurkan boneka, tapi dalangnya masih hidup."
Kaelen menajamkan mata.
"Dalang?"
Pria itu mengangguk.
"Grandmaster Elvior memang mati... tapi warisannya tetap. Mereka membentuk faksi baru. Lebih kejam. Lebih tersembunyi."
Kaelen merasakan perutnya mengeras.
"Kenapa kau memberitahuku?"
Pria itu melangkah maju, cukup dekat hingga Kaelen bisa melihat matanya—mata yang penuh rasa bersalah.
"Karena aku pernah menjadi bagian dari mereka," katanya perlahan. "Dan aku ingin menebusnya."
Setelah pria itu pergi, Kaelen kembali ke perkemahan, pikirannya penuh badai.
Serina dan Lyra menunggunya.
"Apa yang dia katakan?" tanya Serina.
Kaelen menatap ke api unggun, di mana anak-anak kecil bernyanyi tanpa beban, tidak tahu apa-apa tentang dunia yang lebih gelap yang mengintai di luar sana.
"Bahwa perjuangan kita belum selesai," jawabnya pelan. "Ada musuh lain. Lebih licik. Lebih sabar."
Lyra menggenggam lengannya.
"Kau tidak sendirian. Apa pun yang terjadi... kita akan hadapi bersama."
Serina mengangguk.
"Lagipula," tambahnya dengan senyum setengah pahit, "kita sudah terlalu dalam untuk mundur."
Keesokan paginya, Kaelen mengumpulkan orang-orang kepercayaannya.
Di sebuah pondok kecil yang belum selesai dibangun, mereka berkumpul: Lyra, Serina, Alden, dan beberapa prajurit lama yang masih setia.
"Kita harus bergerak cepat," kata Kaelen tegas. "Kalau faksi ini tumbuh di dalam bayang-bayang, mereka bisa menghancurkan segalanya sebelum kita sempat menguatkan pondasi."
Alden menghela napas.
"Aku suka pertempuran. Tapi melawan musuh yang tidak kelihatan? Itu seperti berkelahi dengan hantu."
Kaelen menatap mereka satu per satu.
"Mereka pikir kita akan sibuk membangun rumah dan ladang. Kita buktikan bahwa kita juga bisa membangun benteng. Dalam hati kita. Dalam pikiran kita."
Semua mengangguk.
Tidak ada keraguan.
Hanya tekad.
Saat malam berikutnya tiba, Kaelen berdiri sendirian di atas bukit.
Ia tahu apa artinya ini.
Bukan sekadar membangun dunia baru.
Tapi menjaga mimpi itu tetap hidup.
Melindunginya dari hantu masa lalu yang akan terus mencoba merayap kembali.
"Kau boleh datang," bisiknya ke angin malam. "Tapi kami siap."
Dan untuk pertama kalinya, Kaelen tidak merasa sendirian.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report