The Shattered Light
Chapter 126: – Menghadapi Raksasa Ingatan

Chapter 126: – Menghadapi Raksasa Ingatan

Raksasa itu bergerak.

Setiap langkahnya membuat tanah berguncang, batuan runtuh, dan udara bergetar dengan tekanan yang terasa sampai ke tulang. Dari kejauhan, ia tampak seperti kabut tebal yang membentuk tubuh—tangan-tangan panjang keluar dari dadanya, masing-masing menggapai-gapai kosong, seperti mencari sesuatu yang sudah lama hilang.

Di depan monster itu, Kaelen berdiri tegak. Pedangnya terhunus. Cahaya gelap berkumpul di sekitarnya, membentuk aura tipis yang berkedip-kedip.

Di sebelahnya, Lyra berdiri dengan liontin bersinar di dada, tangannya sedikit gemetar, tapi matanya penuh tekad.

Alden dan Serina menyusun posisi, membentuk setengah lingkaran mengelilingi Kaelen dan Lyra, siap menyerang dari berbagai arah.

"Kita tidak bisa mengalahkan itu dengan kekuatan biasa," gumam Serina, matanya sempit, memperhitungkan setiap gerakan raksasa.

Kaelen mengangguk. "Aku tahu."

Alden menggeram. "Jadi apa rencananya? Kita bernyanyi dan berharap dia lenyap?"

Kaelen menatap monster itu, lalu menatap Lyra. Sebuah ide berkilat di benaknya—gila, berisiko, tapi mungkin satu-satunya harapan mereka.

"Bukan bernyanyi," katanya. "Menghadapkan dia pada apa yang dia cari: kenangan."

Serina meletakkan satu tangan di pinggul, skeptis.

"Kenangan? Kita bahkan hampir kehabisan kenangan kita sendiri, Kaelen."

Kaelen berjalan ke arah Lyra.

"Batu Ingatan... liontinmu. Ia masih menyimpan pecahan memorimu, Lyra. Kalau kau bisa menggunakannya... mungkin kita bisa ’menyajikan’ sesuatu pada monster itu."

Lyra mengerutkan kening, bingung dan takut.

"Tapi... aku bahkan belum tahu caranya."

"Kau tidak harus tahu," Kaelen menjawab, suaranya lembut. "Kau hanya harus mengingat. Apa pun. Siapa pun."

"Aku takut," bisik Lyra.

Kaelen menyentuh pundaknya, tatapan mereka terkunci.

"Semua orang takut saat harus mengingat hal-hal yang menyakitkan. Tapi itu yang membuat kita hidup."

Raksasa itu mengaum, suara retakannya seperti dunia yang patah.

Tangan-tangannya melesat ke depan. Salah satu menghantam tanah tepat di dekat mereka, melemparkan batu-batu besar ke udara.

Alden menggeram dan melemparkan tombaknya. Tombak itu menembus lengan monster, tapi segera tertelan bayangan dan jatuh ke tanah.

Serina menembakkan anak panah berkilau—mengenai kepala monster, membuatnya terhuyung sejenak.

"Itu hanya memperlambatnya!" teriak Serina.

"Lyra, sekarang!" seru Kaelen.

Dengan tangan gemetar, Lyra memegang liontin di dadanya dan memejamkan mata.

Aku harus ingat...

Gambar-gambar mulai berkedip di pikirannya—tawa Kaelen, pelukan pertama mereka, malam berbintang di atas padang rumput. Tapi juga rasa sakit: kehilangan orang tuanya, ditinggalkan, dikhianati.

Air mata mengalir di wajahnya.

Batu liontin mulai bersinar lebih terang, membentuk spiral cahaya di udara.

Raksasa itu berhenti.

Tangan-tangannya yang liar melambat, seolah tersentak oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Kaelen berteriak, menahan serangan dari satu tangan monster yang berusaha mencapainya.

"Kau melakukannya, Lyra! Teruskan!"

Lyra membuka mata. Kini ia sepenuhnya dalam kendali. Cahaya dari liontin itu membentuk wajah—wajah seorang anak kecil tersenyum, wajah seorang ibu, seorang ayah, seorang sahabat.

Bayangan raksasa itu bergidik. Tangan-tangan yang tadinya meronta kini mulai menyentuh gambar-gambar itu dengan lembut, hampir seperti... rindu.

Alden mendekat ke Kaelen. "Apa yang terjadi?"

Kaelen menatap raksasa itu, matanya melembut.

"Dia... dia hanya ingin diingat."

Serina menurunkan busurnya perlahan, ekspresinya berubah dari ketegangan menjadi keharuan.

"Semua monster," katanya pelan, "terkadang hanya butuh diakui keberadaannya."

Saat monster itu hampir sepenuhnya tenang, sebuah kenangan gelap menyembur dari Lyra—tanpa sengaja.

Wajah Elvior.

Kata-kata pengkhianatan.

Darah.

Seketika, raksasa itu mengaum lebih keras dari sebelumnya, tubuhnya bergetar hebat, dan bayangannya menghitam.

Serina berteriak, "LYRA! HENTIKAN!"

Lyra berusaha memutus aliran kenangan, tapi sudah terlambat. Monster itu sekarang bukan hanya rindu. Ia berubah menjadi amarah.

Kaelen mengangkat pedangnya, menahan serangan dari tentakel bayangan yang menyerangnya.

"Alden! Serina! Fokus ke pergelangan kakinya! Lumpuhkan dia!"

Mereka menyerang serempak.

Kaelen berlari menuju Lyra yang mulai lemas.

"Kau harus mengingat sesuatu yang lebih kuat dari kebencian!" serunya.

"Aku... aku tak tahu harus apa!" isak Lyra.

Kaelen menggenggam wajah Lyra dengan kedua tangannya.

"Ingat aku."

Mata Lyra berkaca-kaca. Ia menutup mata, menggali ke dalam dirinya.

Di antara semua rasa takut, ada satu kenangan sederhana: tangan hangat yang menggenggamnya di malam badai. Suara yang berbisik: "Aku di sini. Aku selalu di sini."

Cahaya liontin meledak dalam gelombang kehangatan.

Monster itu menjerit sekali lagi—tapi kali ini bukan jeritan marah, melainkan jeritan... lega. Tubuhnya perlahan-lahan menghilang menjadi bintang-bintang kecil yang beterbangan di langit mendung.

Kaelen memeluk Lyra erat-erat.

Alden dan Serina terengah-engah, bersandar di reruntuhan.

"Kita berhasil," gumam Alden, setengah tidak percaya.

"Untuk saat ini," jawab Serina, suaranya berat.

Saat mereka beristirahat di bawah langit yang mulai gelap, Lyra bersandar pada Kaelen, matanya berat.

"Aku takut kalau kenangan itu akan hilang lagi," katanya pelan.

Kaelen mencium keningnya.

"Kalau begitu, kita akan membuat kenangan baru. Sebanyak yang kau mau."

Dan di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang kecil yang dulunya monster, mereka berjanji dalam diam—bahwa meski dunia terus patah, mereka akan terus memperbaikinya.

Satu kenangan, satu cinta, satu keberanian... sekali waktu.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report