The Shattered Light -
Chapter 127: – Reruntuhan yang Berbisik
Chapter 127: – Reruntuhan yang Berbisik
Angin malam meniup debu dan serpihan batuan kecil di antara reruntuhan kota tua itu, menciptakan suara bisikan samar yang membuat bulu kuduk berdiri.
Kaelen, Lyra, Serina, dan Alden melangkah perlahan melewati gapura runtuh yang dulu, mungkin, pernah menjadi pintu gerbang megah menuju peradaban yang hilang.
Mereka semua diam.
Heningnya bukan karena takut — tapi karena masing-masing tahu: apa pun yang mereka temukan di sini akan mengubah segalanya.
Dan mungkin, tidak ada jalan kembali.
"Tempat ini... terasa seperti kuburan," gumam Alden, menendang potongan patung yang separuh terkubur di tanah.
Serina berjalan di depan mereka, matanya tajam memeriksa sekeliling.
"Lebih buruk," katanya tanpa menoleh. "Ini adalah tempat di mana sejarah dikuburkan hidup-hidup."
Kaelen diam-diam menahan napas. Matanya terpaku pada simbol-simbol kuno di dinding—simbol Cahaya dan Kegelapan, berbaur, berputar, seolah saling memburu dalam tarian abadi.
Lyra berjalan di sampingnya, tangannya masih menggenggam liontin yang sekarang hanya berdenyut lemah.
"Aku kenal tempat ini," katanya tiba-tiba.
Semua berhenti.
Kaelen menatapnya. "Apa yang kau ingat?"
Lyra memejamkan mata.
"Aku pernah ke sini. Bersama... ayahku."
Elvior.
Nama itu melayang di udara di antara mereka, tak terucapkan tapi begitu berat sampai terasa.
Mereka menemukan sebuah pintu besar di ujung lorong utama — terbuat dari logam yang nyaris tak berkarat meski waktu telah menggerogoti segalanya.
Di tengah pintu, sebuah ukiran:
"Dalam Cahaya, kita bersembunyi. Dalam Kegelapan, kita terbuka."
Kaelen membaca perlahan.
"Ini... bukan sekadar kuil Cahaya," gumamnya. "Ini... tempat perjanjian."
Serina mengernyit. "Perjanjian apa?"
Alden mendekat, mengetuk pintu dengan punggung belatinya. Bunyi hampa.
"Mungkin kita harus bertanya pada mereka yang masih hidup," katanya setengah bercanda.
"Atau pada mereka yang seharusnya sudah mati," balas Serina dingin.
Kaelen mendorong pintu itu perlahan, dan pintu berderit membuka... memperlihatkan ruang bawah tanah luas, diterangi oleh cahaya biru samar dari kristal-kristal yang menempel di dinding.
Di tengah ruangan itu—tergeletak sebuah singgasana batu. Dan di atasnya, duduk sosok yang membuat darah Kaelen membeku.
Elvior.
Atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai Elvior—kurus, pucat, matanya kosong menatap langit-langit, seolah tubuhnya dikeringkan waktu.
Namun saat pintu berderit terbuka, kepala itu perlahan menoleh ke arah mereka.
"Akhirnya," suara itu serak, retak seperti kaca yang hampir pecah. "Pewaris darahku datang."
Lyra tertegun.
"Ayah...?"
Elvior—atau apa pun itu—tersenyum miring, wajahnya seperti topeng yang hampir jatuh.
"Aku sudah menunggumu, Lyra. Menunggu saat kau cukup kuat untuk mengerti... mengapa dunia ini harus dihancurkan untuk diselamatkan."
Kaelen melangkah maju, menghunus pedangnya.
"Kau menghancurkan segalanya—keluarga, desa, sahabat kami."
"Untuk membangun sesuatu yang lebih baik," Elvior membalas. "Cahaya itu... bohong. Kegelapan itu... dibuang. Tapi hanya dengan menggabungkan keduanya, dunia baru bisa lahir."
Lyra menggeleng, air mata menggenang di matanya.
"Kau membunuh mereka... ibuku... sahabatku... semua demi ide gilamu!"
Elvior tertawa—suara tawa yang kosong, hampa.
"Pengorbanan, anakku. Segala perubahan butuh pengorbanan."
Serina menarik busurnya, menatap Kaelen untuk instruksi.
Alden bergumam, "Satu kata darimu, dan aku mengakhiri ini."
Kaelen menatap Elvior.
Tapi Lyra melangkah maju, menghalangi mereka.
"Tunggu."
Semua membeku.
Lyra berjalan pelan ke arah Elvior. Cahaya liontin di lehernya berdenyut lebih terang.
"Kalau benar kau mau membangun dunia baru," katanya pelan, "kenapa kau hancurkan yang lama tanpa pernah memberi kami pilihan?"
Elvior memiringkan kepalanya, seolah baru mendengar pertanyaan itu untuk pertama kali.
"Pilihan?" gumamnya. "Pilihan itu ilusi. Kau pikir kebebasan itu nyata?"
Kaelen bergerak pelan ke samping, mendekati pilar batu di dekat singgasana. Ia tahu: saat Lyra bicara, itulah satu-satunya saat mereka punya celah.
Tiba-tiba, dari balik bayangan, muncul sosok lain—seorang wanita tua berjubah hitam, matanya bersinar biru pucat.
"Cukup," katanya keras. "Mereka berhak tahu kebenaran."
Elvior menoleh, ketakutan jelas di wajahnya.
Wanita itu berjalan ke tengah ruangan, suaranya berat.
"Elvior bukan satu-satunya. Ordo Cahaya... Kegelapan... semua ini permainan para Tetua. Permainan yang membentuk kita menjadi bidak catur."
Semua terpaku.
Lyra menggenggam liontinnya erat-erat.
"Jadi," katanya, suaranya bergetar, "kita ini... pion?"
Wanita itu mengangguk pelan.
"Dan saat pion-pion itu mulai bertanya... permainan berakhir."
Kaelen menurunkan pedangnya perlahan.
Dunianya—semua yang ia perjuangkan, semua yang ia benci, semua yang ia cintai—ternyata hanya bagian dari permainan orang lain.
Dan kini, mereka punya pilihan:
Meneruskan permainan... atau menghancurkannya.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report