The Shattered Light -
Chapter 125: – Kenangan yang Patah
Chapter 125: – Kenangan yang Patah
Matahari sudah tinggi ketika mereka meninggalkan Benteng Elloren.
Langkah mereka berat, seolah tiap batu dan rerumputan tahu bahwa ada sesuatu yang hilang di dalam diri mereka. Dan tak hanya dari satu orang. Dunia mereka, perlahan, mulai retak.
Di tengah barisan, Kaelen berjalan diam. Ia masih memegang tangan Lyra, seolah takut jika melepaskannya, gadis itu akan kembali hilang ke dalam kabut kenangan yang lain.
Namun di dalam dadanya, kekosongan itu nyata.
Ia mencoba mengingat suara ayahnya, tawa ibunya—dan hanya menemukan kehampaan.
Seperti buku yang sobek dari halaman pertamanya.
Lyra mencuri pandang ke Kaelen. Ada kegelisahan di matanya.
"Kau... berubah," katanya pelan.
Kaelen mengalihkan pandangan ke langit, pura-pura sibuk mengamati burung yang melintas.
"Mungkin," jawabnya.
"Dulu," Lyra melanjutkan, suaranya ragu, "saat aku masih ingat sedikit tentangmu... ada kehangatan. Sekarang... ada dinding."
Kaelen menelan ludah. Ia tidak bisa menyangkalnya. Ia juga merasakannya. Dinding itu dibangun dari kenangan yang ia korbankan—dan kini berdiri di antara mereka.
"Mungkin," katanya lagi, "karena sebagian diriku... hilang saat berusaha menyelamatkanmu."
Lyra berhenti berjalan. Ia menarik napas panjang.
"Aku minta maaf."
"Jangan," potong Kaelen cepat. "Ini pilihanku."
Mereka bertatapan. Tak ada marah. Tak ada tuduhan. Hanya kesedihan—dalam bentuk yang paling telanjang.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Alden yang memimpin, mendadak berhenti.
Serina, yang selalu siaga, langsung mengangkat busurnya.
"Apa itu?" bisik Alden.
Di kejauhan, di antara kabut tipis, terlihat bayangan bangunan. Tapi bangunan itu aneh—seperti membusuk, sebagian runtuh, seolah dimakan dari dalam.
Lebih buruk lagi: bayangan manusia bergerak di sekitar reruntuhan itu, tapi tubuh mereka berpendar aneh—seperti ilusi yang gagal.
"Mereka... bukan manusia biasa," gumam Serina.
Kaelen mengerutkan kening.
"Kenangan patah," katanya tanpa sadar.
Lyra menoleh. "Apa maksudmu?"
Kaelen menunjuk ke depan.
"Mereka... pecahan dari ingatan dunia. Seperti bayangan dari masa lalu yang seharusnya sudah mati."
Mereka mendekat perlahan.
Salah satu bayangan bergerak cepat ke arah mereka. Saat semakin dekat, Kaelen terperanjat.
Itu... Varrok.
Atau sesuatu yang menyerupai Varrok—mantan mentornya, yang sudah lama mati di tangan Ordo Cahaya.
Namun wajah Varrok ini pecah-pecah seperti kaca retak. Suaranya melengking saat berbicara:
"Kaelen... kenapa kau meninggalkanku...?"
Kaelen mundur setengah langkah, terhuyung.
Serina segera menarik busurnya, membidik.
"Itu bukan dia!" teriaknya. "Itu hanya bayangan!"
Kaelen menahan busur Serina.
"Jangan."
"Apa kau gila?!"
"Kalau kita hancurkan mereka... kita menghancurkan bagian dari dunia ini."
Lyra mendekat, suaranya bergetar.
"Tapi kalau kita biarkan, dunia ini akan runtuh oleh bayangan kenangan itu sendiri."
Kaelen memandang pecahan-Varrok itu, yang kini berdiri pasrah di hadapannya.
"Aku minta maaf," bisik Kaelen.
Bayangan itu tersenyum tipis—retakan-retakan di wajahnya membentuk ekspresi damai—sebelum perlahan-lahan menghilang menjadi butiran cahaya kecil.
Serina menurunkan busurnya perlahan.
"Mereka hanya... ingin diingat," katanya lirih.
Alden, yang sejak tadi diam, bergumam:
"Kalau dunia ini kehilangan ingatannya... siapa yang akan mengingat kita?"
Tiba-tiba tanah bergetar.
Dari reruntuhan yang lebih jauh, sosok raksasa perlahan muncul. Bukan manusia. Bukan makhluk biasa.
Itu adalah gabungan dari ribuan kenangan patah, membentuk monster raksasa tanpa wajah—dengan tangan-tangan yang meronta-ronta dari tubuhnya, berusaha meraih apa pun yang hidup.
Serina berbisik:
"Kita punya masalah lebih besar."
Kaelen meraih gagang pedangnya.
"Kita tidak bisa bertarung melawan masa lalu. Tapi mungkin... kita bisa menghadapinya."
Lyra berdiri di sampingnya, cahaya lembut mulai mengalir dari kulitnya.
"Aku bersamamu," katanya.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kaelen tersenyum—bukan karena ia berharap menang, tapi karena ia tahu: ia tidak lagi sendirian.
Mereka bersiap menghadapi monster itu—bukan sebagai penyelamat dunia sempurna, tapi sebagai manusia yang patah, berusaha memperbaiki apa yang masih bisa diselamatkan.
Dan jauh di dalam hatinya, Kaelen berbisik pada dirinya sendiri:
"Aku mungkin telah melupakan awal perjalananku. Tapi aku tahu... untuk siapa aku terus berjalan."
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report