The Shattered Light -
Chapter 190: – Cahaya Terakhir di Ujung Pedang
Chapter 190: – Cahaya Terakhir di Ujung Pedang
Langit memerah seperti luka terbuka. Puing-puing istana Elvior menjulang di sekeliling mereka, reruntuhan yang menjadi saksi hancurnya Ordo Cahaya. Tapi dua sosok berdiri di tengah medan, tidak bergerak. Hening.
Kaelen menggenggam pedangnya erat, napasnya berat. Di hadapannya berdiri Eryon—mantan mentor, musuh, penyebab semua kehilangan yang membentuk dirinya kini.
“Tak ada lagi yang bisa kau lindungi,” kata Eryon pelan.
“Bukan itu masalahnya,” Kaelen membalas, matanya menyala oleh sisa kekuatan yang ia paksa dari dalam. “Yang kau lupakan, Eryon... adalah bahwa aku tidak pernah berperang hanya untuk menang. Aku berperang agar aku bisa memilih untuk tidak membunuh.”
Eryon mengangkat pedangnya, masih tenang. “Kau terlalu lemah untuk pilihan seperti itu. Dunia ini tidak memberi ruang bagi belas kasih. Aku sudah belajar dari Ordo. Mereka membentukku seperti ini. Dan sekarang, aku memilih.”
Kaelen menyerang lebih dulu.
Benturan pedang mereka menggemakan suara logam dan sihir. Setiap ayunan Kaelen penuh emosi, bukan karena amarah, tapi karena rasa kehilangan yang tak bisa ia ingat dengan utuh.
Eryon menangkis, berbalik menyerang, lebih teratur, dingin, mematikan. Tapi sesuatu dalam gerakannya ragu. Pandangannya terselip ke luka di dada Kaelen, lalu ke bekas luka lama di lehernya sendiri—sisa pertarungan mereka yang pertama.
“Kenapa kau tidak membenciku sepenuhnya, Kaelen?” tanya Eryon di sela duel. “Biar lebih mudah.”
Kaelen mendesis. “Karena bagian dariku masih percaya... kau bisa berubah.”
Eryon mundur setengah langkah. “Kepercayaan itu akan membunuhmu.”
“Tapi kebencian sudah membunuhmu, bukan?”
Benturan terakhir membuat mereka terpisah. Kaelen berdarah di bahu, Eryon terseret mundur. Mereka terengah-engah. Dunia seperti melambat.
Kaelen menurunkan pedangnya sedikit. “Berapa banyak lagi yang harus mati supaya kau merasa cukup?”
“Bukan tentang cukup.” Eryon menatapnya. “Ini tentang... mengakhiri semuanya sebelum penderitaan baru dimulai. Kau pikir Ordo telah hancur? Mereka menyebar. Seperti penyakit. Dan kita... kita hanya gejala.”
Kaelen melangkah mendekat, tapi tak menyerang. “Kalau begitu, bunuh aku sekarang. Selesaikan."
Eryon menegang. Tangannya gemetar.
“Apa kau pikir aku tidak mau?” bisiknya. “Apa kau pikir aku tidak membayangkan dunia ini lebih baik tanpamu? Tapi... ada sesuatu yang lebih mengerikan dari musuh yang tangguh.”
“Yakni?”
“Musuh yang mengingatkanmu pada siapa dirimu dulu.”
Hening menggantung.
Kilatan cahaya menyapu reruntuhan. Dari arah barat, pasukan kecil Kaelen muncul di balik asap. Lyra di depan, luka di pipi masih segar, tapi matanya teguh.
“Kaelen!” serunya. “Dia sudah kalah!”
Kaelen menoleh padanya. Lalu menatap Eryon.
“Tidak,” katanya. “Dia belum kalah. Tapi aku juga belum menang.”
Eryon menatapnya, lelah. “Kau akan menyesal membiarkan ini berakhir seperti ini.”
“Sudah terlalu banyak yang kusesali,” Kaelen menjawab, lalu menurunkan pedangnya sepenuhnya.
Ia berbalik, meninggalkan Eryon berdiri sendiri, pedangnya masih di tangan tapi tak lagi terangkat.
Lyra menghampiri. “Kau... yakin?”
Kaelen mengangguk. “Jika dia kembali... jika dia memilih jalan gelap lagi... maka aku akan ada. Tapi hari ini, aku ingin seseorang melihat bahwa dunia bisa menolak dendam.”
Beberapa langkah di belakang mereka, Eryon menatap ke langit. Lalu ke pedang di tangannya.
Ia melemparkannya ke tanah.
Dan untuk pertama kalinya sejak menjadi bagian dari Ordo Cahaya, Eryon menangis.
Bukan karena kalah.
Tapi karena akhirnya... ia dibebaskan dari dendamnya sendiri.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report