The Shattered Light -
Chapter 175: – Arsip yang Hilang
Chapter 175: – Arsip yang Hilang
Mereka berlima berdiri di tengah lembah kecil yang tersembunyi di balik dinding gua air. Udara di sini basah dan berat, namun jauh dari suara pertempuran. Hanya ada bisikan angin dan gemuruh lembut air yang mengalir dari dinding batu.
Kaelen duduk di atas batu besar, diam. Air masih menetes dari jubahnya, tapi pikirannya jauh lebih tenggelam dari tubuhnya.
Ia menatap tanah. Atau lebih tepatnya, bayangan yang baru saja ia lihat. Sosok berjubah putih. Wajah yang hanya sempat terlihat setengah... tapi ia tahu betul garis mata itu.
“Serina,” gumamnya pelan.
Lyra melirik, mendengar nama itu untuk pertama kalinya keluar dari mulut Kaelen sejak lama. Ia membuka mulut ingin bertanya, tapi menahannya.
Saren menepuk lengan Khevan, lalu mendekati Kaelen. “Kalau kau memang melihat seseorang yang seharusnya sudah tiada... itu berarti dua kemungkinan. Entah musuh mulai bermain dengan bentuk dan wajah, atau—”
“Atau dia belum mati,” potong Kaelen.
“Tapi bukankah kau sendiri yang menguburkannya?” tanya Alden. Suaranya terdengar hati-hati, tidak seperti biasanya.
Kaelen menatapnya. “Aku mengubur jasad. Tapi ingatanku tentang saat itu... samar. Aku sedang dalam mode kekuatan penuh. Setelah itu, aku tak ingat prosesnya. Hanya lubang di tanah, dan batu nisan.”
Lyra menghela napas panjang. “Kaelen. Kau harus mulai mempertimbangkan satu hal.”
“Apa?”
“Kekuatanmu... bukan hanya mengambil kenangan. Tapi memindahkannya.”
Hening.
Khevan mengernyit. “Memindahkan?”
Lyra mengangguk pelan. “Serina, Lyra, bahkan dirimu sendiri. Kau lupa, bukan karena semata menghapus. Tapi karena sesuatu atau seseorang menyimpan itu... di tempat lain.”
Kaelen menatap Lyra, matanya perlahan melebar.
“Apa kau mengacu pada... arsip?” tanya Saren. “Rumor itu?”
“Lebih dari sekadar rumor,” jawab Lyra. “Grandmaster Elvior pernah menyebutnya sebelum gugur. Ia menyimpan percakapan rahasia dengan Eryon. Ada fasilitas tersembunyi di bawah kota lama, tempat para pengguna kekuatan seperti Kaelen... diteliti.”
“Dan kenangan mereka disimpan?” Khevan tampak skeptis.
Lyra mengangguk. “Disimpan, dikunci, atau... dimanipulasi.”
Kaelen berdiri. “Bawa aku ke sana.”
*****
Dua hari kemudian.
Kota lama bernama Calthera—dulunya pusat akademi pengetahuan dan perpustakaan terbesar di wilayah barat. Kini reruntuhan. Terbakar separuh saat Ordo Cahaya memusnahkan seluruh arsip sejarah yang bertentangan dengan dogma mereka.
Tim kecil itu menyelinap masuk lewat lorong tua perpustakaan. Hujan gerimis membuat tanah licin, dan aroma buku hangus masih menggantung meski puluhan tahun telah berlalu.
“Pintu itu,” Lyra menunjuk ke pintu batu berukir lambang yang Kaelen kenali. Lambang Ordo, tapi versi lama—dengan mata tertutup dan ular di sekelilingnya.
Saren menempelkan telapak tangannya ke ukiran. “Perangkap?”
“Bisa jadi,” kata Alden.
Kaelen maju. “Kalau ini tempat mereka menyimpan kenangan... mungkin aku bisa membukanya.”
Ia menempelkan telapak tangan pada ukiran. Seketika, batu itu memanas. Cahaya biru menyala dari celah ukiran, berdenyut... seolah merespons.
Pintu terbuka perlahan.
Di baliknya—tangga menurun, diterangi obor biru yang menyala otomatis saat mereka melangkah masuk. Di bawah, aula besar dengan silinder kaca berdiri berbaris, masing-masing menyimpan semacam kristal bercahaya samar.
Di dinding, ukiran simbol dan huruf lama.
Khevan melangkah mendekati salah satu tabung.
“Ini... ini seperti tempat menyimpan jiwa.”
“Bukan jiwa,” potong Lyra. “Memori. Fragmen.”
Saren mengangkat kristal kecil dari meja logam. “Ada nama di sini.”
“Apa?” tanya Kaelen cepat.
Saren membaca, “Serina. Tertanggal sepuluh hari sebelum serangan ke Benteng Utara. Status: disimpan.”
Kaelen mendekat dan meraih kristal itu.
Begitu ia menyentuhnya, gelombang energi menyambar ke tubuhnya. Cahaya memenuhi ruang bawah tanah. Semua terdiam.
Gambar melintas di benaknya: Serina—terbaring berdarah, tapi masih hidup. Seorang pria berkerudung putih memegang kepalanya, menyentuh dahinya. Cahaya biru menyala, dan tubuh Serina menjadi tenang. Tapi bukan mati—dia dibawa, bersama ingatannya... disimpan.
Gambar itu menghilang.
Kaelen terhuyung.
“Dia... dia tidak mati,” bisiknya.
“Apa maksudmu?” tanya Lyra, cemas.
“Dia dibawa. Ingatannya diambil. Sama seperti aku. Mungkin sekarang dia tak tahu siapa dirinya... atau siapa aku.”
Alden mencengkeram gagang pedangnya. “Mereka menciptakan tentara dari orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri. Seperti kau.”
Kaelen mengepalkan tangan. “Kita harus cari dia. Dan—hancurkan tempat ini. Dunia tidak butuh lagi tempat yang menjadikan manusia sebagai wadah eksperimen.”
Saren menatap tabung-tabung lain. “Tapi bagaimana kalau di antara mereka... masih ada yang bisa diselamatkan?”
Kaelen menatap tabung lain. Beberapa bertuliskan nama-nama asing. Beberapa hanya angka. Di satu tabung, ia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.
Namanya sendiri.
“Kaelen. Subjek 47. Prototipe berhasil. Status: aktif.”
Ia mendekati tabung itu. Tidak ada kristal di dalamnya. Hanya kosong.
Lyra berdiri di belakangnya.
“Mereka sudah melihatmu sebagai alat... bahkan sejak awal.”
Kaelen menatap Lyra. Wajahnya keras, tapi matanya basah.
“Kalau aku hanya prototipe... apakah semua yang kurasakan juga palsu?”
Lyra meraih tangannya. “Perasaanmu nyata. Karena aku yang merasakannya juga.”
Kaelen memutuskan menyelamatkan siapa pun yang masih memiliki memori, lalu menghancurkan fasilitas itu. Tapi dari bayang-bayang, seseorang mengawasi: Eryon. Dan di belakangnya—Serina... mengenakan jubah putih, matanya kosong.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report