The Shattered Light
Chapter 174: – Bayangan di Balik Dinding

Chapter 174: – Bayangan di Balik Dinding

Lorong itu lebih dingin dari sebelumnya. Tidak hanya karena udara lembap yang mengendap di dinding batu tua, tapi juga karena aura ganjil yang menggantung—seperti sesuatu yang sedang mengawasi mereka dari balik tembok.

Kaelen berdiri terpaku di depan ukiran nama ibunya. Sentuhan jarinya masih menempel di batu, dan jantungnya berdetak tak karuan.

“Apa kau yakin itu nama ibumu?” bisik Lyra, mendekatinya. Suaranya pelan, tapi jelas menyimpan kekhawatiran.

Kaelen mengangguk perlahan, walau ia sendiri tak yakin kenapa bisa yakin. “Aku... tak ingat wajahnya. Tapi nama ini... sesuatu dalam tubuhku tahu. Rasanya seperti luka lama yang belum sembuh, meski aku tak tahu luka apa.”

Saren yang berada di depan memberi isyarat. “Kita harus lanjut. Lorong ini membawa kita ke ruang tahanan bawah. Jika benar laporan dari mata-mata kita, beberapa tawanan—mungkin yang pernah mengenalmu—masih hidup.”

Alden menyipitkan mata. “Dan kalau itu jebakan?”

Khevan menimpali cepat, “Atau mungkin justru itu kunci yang bisa mengembalikan ingatan Kaelen. Kalau seseorang tahu siapa dia sebelum semua ini...”

“Aku tidak butuh ingatan untuk bertarung,” sela Kaelen tiba-tiba, suaranya tajam. “Yang kulawan sekarang adalah Ordo. Bukan masa lalu.”

Namun Lyra menatapnya tajam. “Kau sudah kehilangan Serina. Lalu perlahan lupa padaku. Kalau ada seseorang di balik jeruji sana yang bisa memberimu bagian yang hilang... kau benar-benar akan abaikan itu?”

Hening.

Kaelen menatap lorong gelap di depan, lalu menatap arah berlawanan: tangga menuju pusat benteng. Dua arah. Dua kemungkinan. Tapi hanya satu yang bisa mereka ambil. Waktu mereka terbatas.

Alden menatap Kaelen, seperti menunggu keputusan.

“Kau adalah komando kami. Tapi malam ini bukan hanya tentang kemenangan,” katanya. “Kalau kau kehilangan segalanya, apa gunanya menang?”

Kaelen mengepalkan tangan.

“Bawa aku ke ruang tahanan.”

Mereka menuruni lorong ke arah ruang bawah tanah. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti tubuh mereka diberatkan oleh ketidakpastian yang mengintai. Lampu-lampu minyak di dinding menyala samar, menandakan bahwa tempat itu masih digunakan. Atau baru saja digunakan.

Ketika mereka sampai di depan pintu baja tua yang nyaris berkarat, Saren menempelkan telinga. “Ada suara... napas. Tapi lemah.”

Kaelen menunduk dan berbicara dengan nada rendah, “Buka perlahan. Jika ini jebakan, kita harus cepat.”

Alden menarik tuas di samping dinding. Dengan derit berat, pintu terbuka.

Ruangan itu berisi enam sel kecil. Di satu sudut, sosok tua dengan rambut panjang acak-acakan duduk bersandar, napasnya berat. Di sel lain, seorang perempuan muda tampak menggenggam seutas kain sobek, matanya kosong.

Kaelen masuk perlahan. “Siapa kalian?” suaranya berat, penuh ragu.

Sosok tua itu membuka mata.

Mata itu menyala.

“Kaelen...” gumamnya, lirih, seolah menyebut nama dewa yang turun dari langit. “Akhirnya kau datang juga...”

Kaelen tertegun. “Kau mengenalku?”

“Lebih dari itu. Aku—aku yang menyelamatkanmu saat ibumu jatuh. Aku tak bisa menyelamatkan dia, tapi aku bawa kau keluar dari reruntuhan. Kau masih bayi...”

Kaelen membeku.

Khevan mendekat. “Ini... bukan jebakan.”

Lyra menatap Kaelen dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tak bicara, tapi Kaelen bisa melihat dalam matanya: ini penting. Ini kunci.

Kaelen mendekati jeruji. “Siapa namamu?”

“Dereka,” jawab si lelaki tua. “Dereka dari Klan Batu Arang. Penggalang pasukan saat perang pertama.”

Kaelen menelan ludah. “Kau tahu siapa ayahku?”

Dereka mengangguk perlahan. “Dia bukan siapa-siapa... tapi dia adalah segalanya bagi ibumu. Dan kau... adalah warisan mereka.”

Keheningan menggantung.

Sampai Lyra bersuara, pelan tapi tegas. “Kita tidak bisa tinggal lama. Kalau ini bukan jebakan, maka itu berarti mereka sedang menyiapkan sesuatu yang lebih buruk.”

Kaelen mengangguk.

“Buka selnya,” perintahnya. “Kita bawa mereka keluar.”

Saat mereka membawa para tawanan keluar dari ruang tahanan, suara peluit pendek terdengar. Satu, dua, tiga... lalu senyap.

Saren membentak, “Musuh di belakang!”

Pintu besi menutup otomatis—perangkap.

Pasukan Bayangan Ordo muncul dari balik dinding yang berputar, seperti hantu dari kegelapan. Mereka mengenakan jubah tanpa simbol, wajah tertutup. Tapi senjata mereka nyata.

Pertarungan pecah seketika.

Kaelen menebas dua lawan sekaligus. Alden melemparkan dua bilah pisau ke dada penjaga. Lyra melompat ke udara, menembakkan dua panah berturut-turut, menancap di leher lawan. Tapi musuh datang bertubi-tubi.

“Kita terpojok!” teriak Khevan. “Pintu tak bisa dibuka lagi!”

Dereka yang masih lemah menunjuk ke sudut. “Ada jalur air... di balik sel nomor dua. Jalur lama penambang.”

Kaelen berlari ke sana, menghancurkan dinding tipis dengan sekali tebas.

“Semua masuk! Sekarang!”

Mereka menyelinap ke terowongan air sempit. Saat masuk satu per satu, Kaelen menoleh ke belakang—pasukan musuh semakin mendekat, tapi ia sempat melihat satu hal yang membuat darahnya membeku.

Di lorong utama—berdiri seseorang dengan jubah putih... bukan hitam.

Seseorang yang seharusnya sudah mati.

“Serina?” gumamnya.

Tapi ketika ia memicingkan mata—sosok itu menghilang.

Kaelen terpaku beberapa detik sebelum Lyra menarik lengannya. “Kaelen!”

Mereka masuk ke terowongan air dan menghilang dalam kegelapan.

Di ujung lorong bawah tanah, mereka berhasil keluar ke lembah tersembunyi. Tapi pertanyaan menggantung di udara:

Apakah Serina benar-benar mati?

Atau... apakah kenangan Kaelen telah dimanipulasi oleh kekuatannya sendiri?

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report