The Shattered Light -
Chapter 168: – Jalan yang Membelah
Chapter 168: – Jalan yang Membelah
Langit mendung menggantung berat di atas barak sementara pasukan Kaelen. Hujan belum turun, tapi tanah sudah lembab, seolah dunia pun ragu untuk menjatuhkan tetes airnya. Kaelen berdiri di luar tenda, tatapannya jauh menembus kabut pagi.
Di belakangnya, suara langkah pelan terdengar. Lyra muncul, membawa dua cangkir logam berisi ramuan hangat.
“Kau belum tidur,” katanya sambil menyodorkan satu cangkir.
Kaelen menerima, tapi tak langsung menyesap. “Apa aku terlihat seperti orang yang bisa tidur?”
“Kau terlihat seperti seseorang yang terlalu lama tidak memejamkan mata. Itu beda.”
Mereka diam sejenak.
“Eryon... dia seperti sedang berubah,” gumam Kaelen.
Lyra mengangguk perlahan. “Atau mungkin... dia justru sudah menunjukkan wajah aslinya.”
Kaelen menatap ramuan di tangannya. “Bagaimana jika kita semua... sudah berubah terlalu jauh sampai tak ada wajah asli yang tersisa?”
Di ruang strategi, Alden meletakkan gulungan peta dengan gerakan cepat. Beberapa komandan muda duduk melingkar, menanti.
“Kubu Ordo Cahaya yang tersisa ada di utara Sungai Tareth,” katanya. “Tapi mereka mulai menarik warga sipil sebagai tameng manusia.”
Salah satu komandan memukul meja. “Mereka tidak peduli lagi dengan kehormatan! Kita harus menyerang habis-habisan!”
Kaelen masuk, tenang tapi tajam. “Dan kau ingin kita menyeberangi sungai, membakar desa, dan meninggalkan anak-anak mati di belakang?”
Komandan itu menunduk, terdiam.
Kaelen menunjuk peta. “Kita temukan jalur masuk rahasia. Serang malam hari. Hanya pasukan elit. Tanpa korban sipil.”
Alden menyahut, “Dan kalau mereka menahan anak-anak di benteng utama?”
Kaelen menatapnya dingin. “Maka kita pastikan mereka tak sempat menyentuh satu pun.”
Malamnya, Lyra duduk di luar tenda, di samping api kecil. Imra tertidur di pangkuannya, setelah seharian menggambar dan berlarian dengan beberapa prajurit.
Kaelen duduk di seberangnya. Tatapannya lembut—jarang, tapi nyata.
“Dia mengingatkanku... pada seseorang. Tapi aku tak bisa memanggil nama itu.” Kaelen menghela napas. “Rasanya seperti ada sesuatu yang tertinggal di balik pintu yang tak bisa kubuka.”
“Serina,” kata Lyra pelan. “Namanya Serina. Dia dulu... sahabatmu. Salah satu orang yang menyelamatkanmu, bahkan saat kau menolak diselamatkan.”
Kaelen menatapnya, kaget. “Aku... tidak ingat.”
Lyra memaksakan senyum. “Tidak apa-apa. Aku ingat. Untuk sekarang, itu cukup.”
Tengah malam, Eryon berdiri sendiri di luar reruntuhan kuil tua, tempat ia bertapa sejak menyelinap pergi dari Ordo. Kaelen datang diam-diam, tanpa pengawal.
“Sendirian?” tanya Kaelen.
Eryon mengangguk. “Kadang... jawaban terbaik datang ketika tak ada yang bertanya.”
Kaelen menatap reruntuhan. “Aku tak tahu harus percaya atau membunuhmu.”
Eryon tersenyum kecil. “Keduanya pilihan yang adil.”
Hening.
“Aku bertanya-tanya,” lanjut Eryon, “jika kita membakar dunia untuk menyelamatkan kebenaran... apakah kita masih bisa mengenali wajah orang-orang yang kita lindungi?”
Kaelen mendekat. “Kau bicara seolah menyesal.”
“Aku tidak menyesal memilih kekuatan,” jawab Eryon. “Tapi aku menyesal mengira bahwa itu akan memberiku damai.”
Keesokan harinya, pasukan elit mulai bergerak ke arah Sungai Tareth. Langkah-langkah mereka cepat tapi senyap, menyatu dengan kabut pagi yang belum bubar.
Di antara mereka, Lyra ikut serta—bukan sebagai pejuang, tapi sebagai mata dan suara hati Kaelen.
Di tepi sungai, Kaelen menghentikan langkah.
“Aku ingin semua orang tahu,” katanya keras, “tidak ada kemuliaan dalam membunuh anak-anak. Tidak ada kejayaan dalam menumbangkan lawan yang tak bisa melawan.”
Ia menatap prajurit satu per satu. “Kita di sini untuk menghentikan kehancuran, bukan menularkannya.”
Misi malam itu berjalan dengan napas yang ditahan. Lewat terowongan bawah tanah yang nyaris runtuh, mereka menyusup masuk ke benteng musuh.
Tapi saat mencapai aula utama—mereka melihatnya.
Anak-anak. Terikat, dijaga oleh beberapa prajurit Ordo yang panik.
Salah satu pengawal hampir mencabut pedangnya—tapi Kaelen menahan. Ia melangkah maju, sendirian.
“Kau bisa melawanku,” katanya pada penjaga itu. “Atau kau bisa pergi dan tak menjadi monster terakhir yang mereka lihat.”
Penjaga itu gemetar... lalu menjatuhkan pedang.
Ketika misi selesai dan anak-anak sudah diamankan, Kaelen berdiri sendirian di dinding benteng.
Langit mulai cerah.
Langkah Lyra mendekat dari belakang. “Itu... luar biasa.”
Kaelen mengangguk, pelan. “Tapi kenapa aku tidak merasa lega?”
Lyra menjawab, lirih. “Karena kemenangan sejati... tak pernah ringan.”
Kaelen menoleh padanya. “Aku takut suatu hari... aku tidak mengenalmu lagi.”
Lyra menggenggam tangannya. “Maka aku akan menulis namaku di jiwamu. Lagi dan lagi. Sampai tidak ada kegelapan yang bisa menghapusnya.”
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report