The Shattered Light
Chapter 167: – Di Antara Reruntuhan

Chapter 167: – Di Antara Reruntuhan

Angin berdesir membawa serpihan abu dari kamp bekas pertempuran. Pohon-pohon di sekitar terbakar sebagian, menghitam, tetapi tetap berdiri seolah keras kepala menolak tumbang. Kaelen berdiri di puncak bukit kecil, memandangi sisa-sisa benteng kecil Ordo Cahaya yang baru saja dihancurkan oleh pasukannya dua hari lalu.

Tapi tak ada rasa bangga. Tak ada perayaan.

Hanya sunyi. Dan bekas tawa yang seharusnya ada, tapi tak ditemukan.

Lyra naik ke bukit itu, napasnya berat.

“Kita sudah mencari di sekeliling. Tidak ada yang selamat.”Ia menyodorkan sesuatu — sebuah boneka kecil dari kain lusuh, robek di bagian leher. “Ini ditemukan di bawah reruntuhan tenda pengungsi.”

Kaelen menatap boneka itu lama. Matanya kosong. Tangannya tak bergerak.

“Apa kau mengenali itu?” tanya Lyra pelan.

Kaelen menjawab pelan, nyaris seperti gumaman, “Aku... tidak tahu.”

Boneka itu tampak familier. Tapi tidak bernama. Tidak bercerita.

Itu bagian yang paling mengerikan dari semuanya. Bukan karena ia tidak tahu siapa pemilik boneka itu—tapi karena ia tidak merasa kehilangan.

Malam harinya, api unggun dinyalakan dengan pelan. Kaelen duduk menyendiri, menatap kobaran yang menari-nari di matanya. Lyra mendekat, duduk tanpa banyak bicara.

Beberapa menit berlalu sebelum Kaelen bersuara.

“Aku rasa... aku mulai tidak percaya apa pun yang kuingat.”

Lyra menoleh. “Kenapa?”

“Karena jika semua kenangan yang kutinggalkan adalah kematian dan perang, apakah itu artinya aku memang bukan orang yang layak dikenang?”

Lyra menggenggam tangannya. “Kenangan bisa rusak. Tapi siapa kau... bisa dibentuk kembali.”

“Lalu siapa aku sekarang?”

Lyra menatap matanya lama. “Seseorang yang sedang berusaha. Itu sudah lebih dari cukup.”

Keesokan harinya, Alden memimpin patroli ke desa terdekat yang dikabarkan masih netral. Saat mereka kembali, ia membawa seorang gadis kecil—kotor, kurus, tapi matanya masih menyala dengan semangat.

“Namanya Imra,” kata Alden kepada Kaelen. “Orang tuanya hilang. Dia sendirian sejak desa mereka terbakar seminggu lalu.”

Kaelen berjongkok di depan Imra. “Apa kau ingat siapa yang menyerang desamu?”

Imra mengangguk kecil. “Orang dengan jubah putih. Mereka bilang kami menyembunyikan buku-buku terlarang.”

Kaelen menarik napas dalam. Ia tahu siapa yang dimaksud: Ordo Cahaya.

“Apakah kau mau tinggal di sini sementara?” tanya Kaelen pelan.

Imra menatapnya. “Apakah di sini... ada orang jahat?”

Kaelen tak menjawab segera. Ia menunduk, lalu berkata, “Mungkin. Tapi kami sedang mencoba jadi lebih baik.”

Malam itu, Imra duduk di dekat api unggun bersama Lyra dan beberapa prajurit muda. Ia menggambar di tanah, bentuk-bentuk aneh yang sepertinya representasi rumah dan matahari.

Kaelen memperhatikannya dari kejauhan. Wajah Imra mengingatkannya pada seseorang... tapi lagi-lagi, tidak bisa ia sentuh dengan pasti di pikirannya.

“Apakah kau melihat apa yang kau pikirkan?” suara Eryon terdengar dari belakang, tenang.

Kaelen langsung berdiri, bersiap siaga.

“Tenang,” kata Eryon sambil menunjukkan tangannya yang kosong. “Aku datang sendiri. Tak ada senjata. Hanya... ingin bicara.”

Kaelen menatapnya curiga. “Apa yang kau mau?”

Eryon mendekat perlahan. “Aku datang bukan untuk menyerah. Tapi untuk mengajakmu melihat apa yang kau lewati.”

Kaelen mengepalkan tangan. “Aku tahu apa yang kulewati. Setiap langkahnya.”

“Benarkah?” tanya Eryon, matanya menatap lurus. “Lalu katakan padaku... siapa nama adik laki-laki Serina?”

Kaelen terdiam.

Eryon melanjutkan, pelan tapi menusuk, “Dia pernah menggambarmu pakai pedang dan jubah api. Dulu kau tertawa melihatnya. Sekarang kau bahkan tak ingat dia pernah ada.”

Kaelen tak membalas. Sorot matanya seperti pecah dari dalam.

“Semakin banyak kau gunakan kekuatanmu, semakin banyak yang akan hilang,” lanjut Eryon. “Dan jika kau kehilangan segalanya... siapa yang kau lawan selain dirimu sendiri?”

Lyra berdiri di dekat pohon, mendengar percakapan itu. Ia ingin maju, tapi tahu ini bukan waktunya.

Kaelen akhirnya bersuara, dengan suara yang serak dan tertahan, “Lalu apa yang harus kulakukan? Duduk? Melihat semua orang mati sementara aku menjaga serpihan ingatan?”

Eryon mendekat. “Tidak. Tapi mungkin... kau harus memilih apa yang layak dipertahankan. Dan apa yang harus dilepaskan.”

Malam itu, Lyra menemui Kaelen.

“Apa yang dikatakan Eryon?” tanyanya pelan.

Kaelen menjawab lirih, “Dia tidak menyerang. Tapi dia menantang.”

Lyra menatapnya lama. “Dan kau... akan meladeni tantangannya?”

Kaelen tak langsung menjawab.

“Aku tidak ingin menjadi legenda yang dilupakan semua orang. Tapi lebih dari itu... aku tidak ingin menjadi seseorang yang bahkan tidak tahu siapa yang ia lindungi.”

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report