The Shattered Light -
Chapter 165: – Retakan yang Membesar
Chapter 165: – Retakan yang Membesar
Fajar keempat. Gencatan senjata berakhir. Langit masih abu-abu, namun suara langkah kaki dan derit senjata kembali terdengar seperti ritme perang yang tak pernah benar-benar berhenti.
Kaelen berdiri di depan pasukannya. Pandangannya kosong. Di tangannya, surat dari Lyra yang belum ia buka, terasa berat meski hanya selembar kertas.
“Siap untuk maju, Panglima?” tanya Alden, bersenjata lengkap, wajahnya keras.
Kaelen tak langsung menjawab. Lalu pelan, mengangguk. “Kita akan mulai dengan sayap timur. Cukup untuk mengganggu, bukan menghabisi.”
Alden menatapnya sejenak. “Itu bukan strategi yang biasa kau pilih.”
Kaelen mengalihkan pandangannya. “Aku bukan orang yang sama, Alden.”
Di sisi lain, Eryon berdiri di balik jendela reruntuhan benteng. Di hadapannya, Grandmaster Elvior duduk dalam borgol ringan, dijaga dua prajurit muda. Tapi wajah Elvior tenang, seolah tak ada yang berubah dalam tiga hari terakhir.
“Kau pikir dia akan menyerangmu secara langsung?” tanya Elvior, menatap Eryon.
Eryon tidak menjawab.
Elvior melanjutkan, “Kau pernah bilang padaku, tujuanmu bukan kemenangan. Tapi kalau kau terus bertahan di tempat ini, kau hanya menunggu kehancuran.”
Eryon menoleh. “Mungkin memang kehancuran yang dibutuhkan. Dunia ini... sudah terlalu lama menunggu pahlawan. Mungkin yang mereka butuh hanya akhir.”
“Elvior,” lanjutnya sambil menunduk, “kau tahu siapa sebenarnya Kaelen?”
Elvior tertawa kecil. “Kaelen adalah gambaran kita semua, Eryon. Kuat, haus keadilan, dan terlalu bodoh untuk tahu kapan harus berhenti.”
Sore hari. Serangan dimulai. Bukan frontal. Gerilya. Pembakaran gudang suplai. Serangan anak panah dari celah pepohonan. Strategi pengepungan lambat.
Lyra berdiri di menara pengawas, menyaksikan api kecil menyala di kejauhan.
Alden muncul di belakangnya.
“Kau tidak turun?” tanyanya.
Lyra menggeleng. “Jika aku melihat darah lagi hari ini, mungkin aku tak akan bisa menahan diri.”
Alden menyandarkan tombaknya, lalu duduk di tembok batu.
“Kau tahu,” katanya pelan, “dulu waktu Serina masih hidup, dia sering bilang: Kaelen tidak akan mati karena musuh, tapi karena dirinya sendiri.”
Lyra mengatupkan bibir. Air matanya hampir jatuh.
“Kau masih ingat wajah Serina?” tanya Alden tiba-tiba.
Lyra menoleh cepat. “Tentu saja.”
“Kaelen sudah tidak.”
Diam. Lalu Alden berdiri.
“Jaga dia,” ujarnya sebelum pergi. “Karena kalau dia hilang... kita semua ikut hilang.”
Di markas, Kaelen membuka peta besar di meja. Tapi matanya tidak fokus. Surat Lyra masih tergenggam.
Terran tiba-tiba masuk, membawa sekeranjang makanan sederhana.
“Aku suruh penjaga kasih ini. Tapi dia bilang kau lebih suka diam. Jadi aku datang sendiri.”
Kaelen mengangguk. “Terima kasih.”
Terran duduk, memeluk lututnya. “Aku lihat pasukanmu nyalain api di gudang logistik Ordo Cahaya. Mereka... marah, ya?”
“Bukan marah. Mereka terluka.”
Terran menatapnya. “Kau juga, ya?”
Kaelen menatap api lilin. “Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan sekarang.”
“Kau harus makan,” kata Terran akhirnya, menyodorkan roti keras dan potongan daging asap. “Kemarahan tidak bisa jadi bahan bakar selamanya.”
Malam tiba.
Kaelen duduk sendirian di luar tenda, akhirnya membuka surat Lyra.
"Jika suatu hari kau tak lagi mengenali wajahku, atau namaku, atau kenangan kita... biarlah surat ini jadi yang terakhir menghubungkan kita.
Aku mencintaimu bukan karena kekuatanmu. Tapi karena di balik semua amarah dan penderitaan, kau masih manusia.
Jangan biarkan dirimu jadi bayangan dari musuhmu.
Jika kau lupa aku, aku bisa hidup. Tapi kalau kau lupa siapa kau sebenarnya, maka tak ada yang bisa menyelamatkanmu lagi."
Kaelen memejamkan mata. Tangannya bergetar.
Pagi berikutnya, di tengah kabut yang menyelimuti lembah, pasukan Kaelen dan Eryon akhirnya kembali berhadap-hadapan. Tapi ada jeda. Semua menunggu aba-aba.
Eryon menunggang kudanya ke tengah.
“Kaelen!” teriaknya.
Kaelen mendekat.
“Lihat kita sekarang. Dua tentara tua yang kehabisan alasan.”
Kaelen menatapnya, datar. “Kalau ini pertarungan terakhirku, aku ingin tahu... kenapa kau bertahan sejauh ini?”
Eryon tersenyum pahit. “Karena aku ingin menebus sesuatu yang tak bisa ditebus. Sama sepertimu.”
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report