The Shattered Light
Chapter 164: – Tiga Hari Damai

Chapter 164: – Tiga Hari Damai

Tiga hari. Itu waktu yang disepakati. Tapi bagi Kaelen, setiap menit terasa seperti hukuman yang lambat.

Di sepanjang lembah, para prajurit dari kedua kubu sibuk mengubur mayat. Mereka tak bicara banyak, hanya bertukar pandang seperlunya. Rasa benci tetap ada, tapi kelelahan dan duka memenangkannya untuk sementara.

Kaelen berdiri di sisi parit besar yang baru digali. Serina pernah gugur tidak jauh dari tempat ini. Tapi bahkan wajahnya kini mulai kabur di benak Kaelen.

“Apa aku penjahat?” gumamnya.

Terran, bocah itu, berdiri di sebelahnya. Memeluk seikat bunga liar yang hendak ditaruh di makam ayahnya.

“Kau bukan pahlawan,” jawab Terran tanpa menoleh. “Tapi ayah bilang, yang membedakan pahlawan dan penjahat bukan siapa yang membunuh lebih banyak. Tapi siapa yang berani berhenti.”

Kaelen terdiam.

“Ayahmu bijak.”

“Dia penakut,” ujar Terran polos. “Tapi dia tahu kapan harus lari. Kadang itu lebih sulit daripada bertarung.”

Di tempat lain, Lyra tengah mengganti perban seorang prajurit luka berat. Tangannya cekatan, wajahnya kaku, tapi matanya sembap. Ia belum tidur sejak kemarin.

Kaelen mendekat pelan.

“Kau marah padaku?” tanyanya, duduk di sampingnya.

Lyra tidak langsung menjawab.

“Tidak marah,” ujarnya akhirnya. “Tapi aku lelah.”

“Karena aku?”

“Karena kita semua terlalu sibuk menjadi alat. Menjadi senjata. Sampai lupa jadi manusia.”

Kaelen menggigit bibirnya. “Aku ingin berhenti. Tapi entah kenapa... aku takut kalau berhenti, semuanya akan runtuh.”

Lyra menghela napas panjang. “Kalau kau terus jalan tanpa arah, itu pun sama saja dengan runtuh.”

Malam hari, tenda komando Kaelen sepi. Ia duduk menatap api lilin yang hampir padam. Sebuah buku lusuh tergeletak di pangkuannya: catatan milik Varrok yang ditemukan pasca kematiannya.

Di balik halaman pertama, ada coretan tangan:

"Jika kau membaca ini, berarti aku sudah gagal menjaga langkahmu."

Kaelen menyusuri halaman-halaman yang berisi nasihat, taktik perang, dan... pengakuan pribadi Varrok.

"Kaelen akan sampai pada titik di mana ia tak tahu lagi siapa dirinya. Saat itu, jangan beri dia jawaban. Beri dia cermin."

Kaelen menutup buku itu. Tangannya gemetar.

Terdengar langkah kaki. Lyra masuk tanpa bicara.

Ia meletakkan secarik kertas di meja. “Aku menulis sesuatu untukmu. Kau boleh baca nanti.”

“Apa isinya?”

“Kalau kubilang, kau tidak akan mau membacanya.”

Ia berbalik, hendak pergi, tapi Kaelen memanggilnya pelan.

“Kalau nanti aku lupa kau... tolong jangan simpan rasa sakitmu sendiri. Temukan orang lain. Temukan kehidupan baru.”

Lyra terdiam sejenak. “Kalau kau tak bisa mengingatku, aku akan membuatmu jatuh cinta lagi dari awal.”

Dan ia pergi, menyisakan aroma lavender di udara.

Hari kedua. Eryon mendekat ke markas Kaelen lagi, kali ini membawa sesuatu yang tak disangka—seorang lelaki tua dengan rambut keperakan dan mata yang dulu hanya Kaelen lihat dalam mimpi buruk masa kecilnya.

“Grandmaster Elvior,” gumam Kaelen.

Elvior, ayah kandung Lyra. Musuh tua yang selama ini hanya ada di balik bayang.

“Dia menyerahkan diri,” kata Eryon singkat. “Tapi minta bicara padamu.”

Kaelen menyuruh penjaga mundur.

Elvior menatapnya tanpa gentar. “Kau pikir aku musuh utamamu?”

“Bukankah kau?”

“Tidak. Aku hanya cermin bagi ambisi terdalam manusia. Ordo Cahaya... hanyalah akibat dari ketakutan kolektif dunia akan kehilangan arah.”

Kaelen mengerutkan dahi. “Berhenti bicara teka-teki.”

Elvior mendekat. “Kau sedang menuju arah yang sama, anak muda. Kau pikir kau masih berbeda dariku? Kau kira karena wajahmu lebih muda dan niatmu mulia, maka dampaknya akan lebih ringan?”

Kaelen mengepalkan tinju.

“Ketika dunia mulai takut padamu, saat mereka membisikkan doa karena cemas akan kemarahanmu, maka kau bukan penyelamat lagi. Kau dewa yang dipaksa disembah.”

Diam. Hening.

Kaelen akhirnya berkata, “Apa maumu?”

Elvior tersenyum miring. “Bunuh aku. Buktikan kau bukan seperti aku.”

Malam ketiga, gencatan senjata hampir berakhir.

Lyra duduk sendiri di luar tenda, menatap langit yang kosong. Kaelen mendatanginya.

“Aku tak membunuhnya,” katanya.

“Karena kau tahu dia benar?”

“Karena aku ingin membuktikan dia salah.”

Ia duduk di sampingnya. “Besok... semuanya mulai lagi.”

“Ya.”

“Kau takut?”

Kaelen berpikir sejenak. “Ya. Tapi bukan karena perang. Aku takut... kalau setelah semuanya selesai, aku berdiri sendirian, tidak tahu siapa namaku, tidak tahu siapa yang kucintai.”

Lyra menoleh. Matanya memerah.

“Kalau sampai hari itu tiba, aku akan membacakan surat ini.”

Ia mengeluarkan secarik kertas dari saku dan menyerahkannya ke Kaelen.

“Jangan dibuka sekarang.”

Kaelen menggenggamnya. Tak berkata apa-apa lagi.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report