The Shattered Light -
Chapter 157: – Menyerbu Bayang-bayang
Chapter 157: – Menyerbu Bayang-bayang
Kabut dingin menyelimuti jalur tersembunyi di timur Benteng Pilar. Langkah kaki nyaris tak terdengar di antara ilalang basah dan tanah becek. Di garis depan, Lyra berhenti, mengangkat tangan. Semua pasukan otomatis membeku.
"Tunggu aba-aba. Kita hanya punya satu kesempatan sebelum mereka menutup gerbang utama," bisiknya kepada Naerys yang berdiri tepat di sampingnya.
Naerys mengangguk. Mata hijaunya menyapu perbukitan di kejauhan—di sanalah benteng berdiri, kelam dan kokoh, seperti tulang rusuk hitam dari era yang tak lagi diingat.
Dari belakang, suara langkah berderap pelan. Veylan muncul, mengenakan kembali jubah abu-abunya yang robek, wajahnya terlihat semakin tua di bawah cahaya fajar.
"Gerbang selatan dijaga delapan orang. Dua lainnya patroli bergantian tiap tujuh menit. Aku bisa buka kuncinya, tapi hanya dari dalam," katanya lirih.
Lyra menatapnya lama. “Berapa lama waktu yang kau butuhkan?”
"Empat menit. Mungkin lima, jika tangan ini masih setia."
"Kau hanya punya tiga," sahut Naerys dingin.
Veylan tidak tersinggung. Ia hanya mengangguk dan melangkah menuju jalur batu yang nyaris tertutup semak belukar.
Lyra menarik napas panjang, lalu berbalik menghadap pasukannya. Dua puluh lima orang, setengah dari mereka veteran perang, sisanya anak-anak yang memilih memberontak daripada tunduk.
"Kita tidak akan selamat semua," katanya jujur. "Tapi yang kita lakukan malam ini... akan mengakhiri siklus penindasan. Entah kita hidup untuk menyaksikannya, atau mati agar dunia baru bisa lahir."
Tidak ada sorak sorai. Hanya anggukan. Hanya mata-mata yang menyala dengan keyakinan.
Alden memutar pisaunya sekali, lalu menyelipkannya kembali ke pinggang. “Sudah lama aku menunggu perang seperti ini.”
Tiga menit kemudian, suara pelan logam terbuka terdengar. Gerbang selatan bergeser perlahan, cukup untuk satu orang merayap masuk.
Lyra memberi isyarat. Mereka menyelinap ke dalam seperti bayangan. Naerys dan dua unit pengintai mengeliminasi penjaga terdekat dengan keheningan yang nyaris mistis.
Di sisi lain benteng, suara ledakan tiba-tiba menggelegar. Pasukan pengalih perhatian—yang dipimpin oleh Darven dan tiga pemanah elit—telah memulai bagian mereka. Api mulai membumbung, dan teriakan penjaga terdengar ricuh.
"Sekarang!" teriak Lyra.
Aksi berubah menjadi badai. Anak panah berdesing di udara. Suara pedang beradu dengan tombak. Pasukan Ordo, meski terlatih, tak menyangka serangan dari dalam.
Veylan memimpin Lyra dan Alden ke ruang penyimpanan senjata—kunci kontrol utama sistem pertahanan sihir berada di sana.
Namun saat mereka tiba, mereka mendapati sesuatu yang tidak terduga: ruangan itu kosong. Terlalu kosong.
“Tunggu... di mana runa kontrolnya?” gumam Alden.
Veylan membeku. Wajahnya pucat seketika.
“Tidak... Ini jebakan—”
Seketika itu pula, dinding di belakang mereka runtuh, dan sosok berjubah putih muncul dari balik bayangan. Grandmaster Elvior.
“Selamat datang, anak-anak Cahaya,” ujarnya, suara halusnya kontras dengan energi mengerikan yang terpancar dari tubuhnya. “Aku tahu kalian akan datang.”
Lyra segera menebas, tapi Elvior hanya mengangkat satu jari. Energi tak terlihat menghantam mereka semua, melemparkan tubuh-tubuh ke belakang seperti boneka kain.
“Kalian kira bisa mengubah dunia dengan amarah dan dendam? Dunia ini dibentuk oleh ketakutan dan pengorbanan.”
Lyra bangkit tertatih, darah menetes dari dahinya. “Dunia ini dibentuk ulang oleh keberanian orang-orang yang ditindas!”
“Sama seperti kau dulu, Lyra?” Elvior menyeringai. “Gadis kecil yang menangis saat ayahnya dibakar oleh hukum yang ia percayai?”
Lyra membeku. Itu bukan informasi umum.
“Kau tahu?” suaranya bergetar.
“Aku yang menjatuhkan vonis itu,” bisik Elvior dengan dingin. “Demi menjaga keseimbangan.”
Naerys masuk ke dalam tepat saat Elvior mengangkat tangannya lagi. Ia melempar dua belati yang terbungkus aura sihir, menabrak dinding pelindung Elvior dan meledak dalam cahaya putih. Itu cukup untuk memecah fokusnya.
Alden menghantam dari sisi lain, sementara Lyra menancapkan pedangnya ke lantai, melepaskan gelombang energi melalui rune yang ia sembunyikan selama ini—artefak dari reruntuhan timur.
Ledakan ketiga mengguncang fondasi.
“Waktunya runtuhkan semuanya,” desis Alden.
Veylan bangkit perlahan, menatap Elvior yang terdesak.
“Aku pikir aku mati bersama kehormatanku,” katanya pelan. “Ternyata... aku baru menemukannya sekarang.”
Ia menyerang—tubuhnya meledak dalam kilatan terang, membawa Elvior bersamanya ke dalam jurang yang terbuka di lantai.
Lyra berdiri di reruntuhan aula utama, tubuhnya gemetar. Di sekitarnya, api mulai mereda. Pasukan Ordo menyerah. Para pemberontak, meski luka-luka, menang.
Naerys menatap langit yang perlahan cerah.
“Kau pikir... ini benar-benar akhir?”
Lyra menggenggam liontin Kaelen yang masih ia simpan.
“Tidak ada akhir. Hanya pilihan. Dan kita baru saja memilih untuk tidak hidup dalam ketakutan lagi.”
Alden datang dengan kain perban, membungkus luka di lengan Lyra.
“Dan pilihan itu... membawa kita ke awal dunia baru.”
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report