The Shattered Light
Chapter 156: – Api di Balik Bayangan

Chapter 156: – Api di Balik Bayangan

Suara derak kayu terdengar lirih ketika pintu kecil di sisi barak perlindungan dibuka. Lyra menyusup ke luar, mantel gelapnya menyatu dengan bayang-bayang malam. Di belakangnya, Naerys mengikuti, mata tajamnya mengawasi setiap sudut.

“Kau yakin ini tidak jebakan?” tanya Naerys, berbisik.

Lyra mengangguk perlahan. "Kalau ini jebakan, aku ingin melihatnya sendiri."

Mereka berjalan menyusuri lorong berbatu, menuruni jalan kecil yang nyaris tersembunyi di balik reruntuhan. Di sana, di bawah rerimbunan pohon tua, seseorang sudah menunggu—seorang pria dengan jubah compang-camping warna abu-abu, wajahnya tersembunyi di balik tudung.

"Lyra Alveris," katanya pelan, suaranya parau seakan melewati ribuan luka. "Putri darah Cahaya... dan kini, bayangan pemberontakan."

Lyra menahan langkahnya beberapa meter dari sosok itu. Tangannya siaga di gagang pedang.

"Siapa kau?"

Orang itu menyingkap tudungnya perlahan. Wajah kurus dengan bekas luka lama di sepanjang pelipisnya muncul di bawah sinar rembulan.

"Namaku Veylan. Mantan Penjaga Pilar Keempat Ordo Cahaya."

Naerys mencabut belatinya setengah, refleks.

"Pengkhianat," desisnya.

"Mantan," ralat Veylan datar. "Aku meninggalkan mereka... saat menyadari siapa sesungguhnya yang kami layani."

Lyra mengamati gerak-geriknya. Tidak ada aura kebohongan dalam nada suaranya, hanya kelelahan mendalam.

"Apa yang kau mau dari kami?" tanya Lyra.

Veylan mendekat satu langkah, cukup untuk membuat Naerys menegang.

"Bukan apa yang kuinginkan... tetapi apa yang bisa kuberikan."

Ia mengeluarkan gulungan kecil dari dalam jubahnya—peta, berisi rute rahasia, lokasi benteng pertahanan Ordo, bahkan posisi markas utama Grandmaster Elvior.

"Aku bisa bantu kalian memotong kepala ular," katanya. "Tapi itu akan mengorbankan lebih dari sekadar nyawa."

Lyra menatap peta itu dengan hati-hati. "Kenapa kau melakukan ini?"

Veylan menghela napas berat, seperti mengusir beban dari dadanya.

"Karena aku ikut membangun tirani itu. Karena aku melihat anak-anak dibakar hidup-hidup demi doktrin. Karena aku menutup mata terlalu lama."

Ia menunduk, suara parau bergetar.

"Karena ini satu-satunya cara aku bisa menebus dosaku... meski nyawaku harus menjadi bayarannya."

Keheningan menggantung.

Akhirnya, Lyra mengambil peta itu.

"Kau akan ikut dengan kami?"

"Sampai akhir," jawab Veylan lirih.

Kembali di markas, Lyra mengumpulkan dewan kecil. Alden, Naerys, dua perwakilan Bayangan, serta dua mantan prajurit elit pasukan Kegelapan.

Peta dibentangkan di atas meja kasar. Titik-titik merah menunjukkan benteng Ordo. Garis-garis biru menghubungkan jalur tersembunyi—rute lama yang bahkan tentara biasa pun tidak tahu.

"Kalau kita gunakan jalur ini," kata Alden, menunjuk ke rute utara, "kita bisa mendekati benteng pusat tanpa ketahuan."

Naerys menggeleng, menunjuk ke sebuah persimpangan.

"Terlalu berisiko. Ada patroli besar di sana. Kita akan terjebak."

"Kalau begitu, kita butuh pengalihan," usul Lyra.

Mereka saling berpandangan. Semua mengerti artinya: mengorbankan satu kelompok kecil untuk mengalihkan perhatian.

"Aku yang memimpin pengalihan," kata Naerys mantap.

"Tidak," potong Lyra. "Aku akan memilih orang-orang khusus untuk itu. Kau tetap bersamaku. Kita tak bisa kehilanganmu."

Naerys mengepalkan tangan, tapi tidak membantah.

"Dan Veylan?" tanya salah satu prajurit.

Semua mata beralih pada pria itu. Veylan mengangkat kepala, menantang.

"Aku akan membuka gerbang dalam. Hanya aku yang tahu sandinya."

Satu detik... dua detik... lalu Lyra mengangguk.

"Kita mulai persiapan malam ini."

Malam itu, Lyra duduk sendiri di salah satu tenda, peta di pangkuannya. Angin malam menerpa wajahnya. Di tangan kanannya, tanpa sadar, ia masih memegang liontin kecil milik Kaelen.

Alden masuk diam-diam.

"Kau yakin dia bisa dipercaya?" tanyanya tanpa basa-basi.

Lyra tidak menjawab langsung. Ia menggenggam liontin itu erat.

"Aku tak yakin," bisiknya. "Tapi kadang, dalam kegelapan, satu-satunya jalan adalah melangkah... atau mati diam-diam."

Alden mendekat, duduk di sampingnya.

"Kau banyak berubah."

"Kita semua berubah," sahut Lyra, menatap api unggun dari kejauhan. "Hanya saja... aku takut, saat aku akhirnya sampai di ujung jalan ini, aku bukan lagi orang yang dikenalnya."

Alden menatapnya lama, lalu menepuk bahunya.

"Kalau dia masih di sini... aku yakin dia akan mengenalmu."

Lyra tersenyum pahit. "Itu yang kutakutkan."

Mereka duduk bersama dalam diam, membiarkan malam dan kesunyian berbicara.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report