The Shattered Light -
Chapter 154: – Di Antara Cahaya dan Bayangan
Chapter 154: – Di Antara Cahaya dan Bayangan
Debu masih menggantung di udara seperti kabut pekat, membungkus dunia dalam warna abu-abu yang nyaris tak bernyawa.Lyra berdiri di tepi reruntuhan, tubuhnya gemetar, napasnya berat.
Di balik longsoran batu itu, Kaelen...Apakah dia masih bertarung?Apakah dia masih hidup?
Tangannya mengepal. Luka di bahunya berdarah, tapi rasa sakit itu kecil dibandingkan dengan rasa hampa yang mulai menggerogoti hatinya.
Alden meletakkan tangan di pundaknya.
"Kita harus pergi, Lyra," katanya pelan. Suaranya serak, penuh beban. "Kalau tidak, pengorbanan Kaelen sia-sia."
"Pergi?" Lyra menoleh dengan mata merah. "Kita meninggalkannya?"
Alden menggeleng pelan.
"Kita menghormatinya. Dengan tetap hidup."
Kata-katanya benar.Tapi hati Lyra menolak.
"Aku harus kembali," desisnya, hampir tanpa suara.
Mereka semua berdiri di persimpangan tak terlihat:
Mundur dan menyelamatkan orang-orang.
Atau kembali ke medan maut demi seseorang yang mungkin sudah tiada.
Di belakang mereka, pasukan kecil yang tersisa—anak-anak, orang tua, prajurit-prajurit muda—menunggu dengan tatapan cemas.
Setiap detik yang mereka buang di sini, musuh bisa mengejar.
Alden menatap Lyra tajam.
"Kau adalah harapan banyak orang sekarang. Bukan hanya Kaelen."
"Tapi..." Lyra menggigit bibirnya. Suaranya pecah. "Aku... aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja."
Suara kecil di hatinya berteriak.
Kalau dia pergi sekarang, mungkin dia bisa menyelamatkan dunia yang Kaelen perjuangkan.
Tapi kalau dia tinggal... mungkin dia bisa menyelamatkan Kaelen.
Atau... mereka berdua akan musnah.
Di tengah keraguan itu, Lyra teringat pada malam saat dia dan Kaelen berbagi satu-satunya malam damai di kamp api.Kaelen menggenggam tangannya dan berkata:
"Kalau suatu hari aku menghilang... jangan berhenti berjalan. Jangan jadikan aku alasan untuk menyerah."
Air mata mengalir di pipinya.Dia tahu jawabannya.Dia tahu... walau seluruh hatinya menjerit.
Dengan tangan gemetar, dia mengangkat kepalanya.
"Kita pergi," katanya akhirnya, suara bergetar. "Kita bawa harapan ini. Untuk dia."
Alden menepuk punggungnya, matanya penuh rasa hormat.
"Kaelen pasti bangga."
Mereka bergerak cepat melewati jalur sempit di antara tebing dan hutan.
Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian.Satu suara saja bisa menarik perhatian pasukan Cahaya yang masih memburu.
Beberapa anak kecil menangis tertahan.Seorang prajurit muda, dengan luka parah di kakinya, terus dipapah dua rekannya.
Lyra berjalan di depan bersama Alden, memimpin dengan mata yang tajam dan hati yang luka.
Tiap langkah terasa seperti menginjak bara api—menjauh dari seseorang yang dia cintai lebih dari hidupnya sendiri.
"Ayo cepat!" teriak Alden setengah berbisik saat mendengar langkah-langkah berat dari kejauhan.
Pasukan pengejar.Mereka tidak punya banyak waktu.
Saat mereka mencapai hutan yang lebih lebat, suara air mengalir terdengar di kejauhan—sungai besar yang bisa menjadi jalur pelarian.
Tapi di sana, di tepi sungai, pasukan Cahaya sudah menunggu.Ratusan prajurit bersenjata lengkap, memblokir jalur mereka.
Jerat yang sempurna.
"Mereka sudah tahu kita ke sini," gumam Alden, wajahnya mengeras.
Lyra mengepalkan tangan. Sihir di ujung jarinya bergetar.Tapi dia tahu, bahkan dengan seluruh kekuatan sihirnya, mereka tak akan menang.
Seorang pria bertopeng putih, komandan musuh, maju ke depan.
"Serahkan diri kalian," katanya dengan suara tenang namun mengancam. "Atau kalian semua akan dihancurkan di sini."
Diam.Semua pasukan Lyra menatapnya, menunggu keputusan.
Mereka tidak bisa bertarung.Mereka tidak bisa mundur.
Lyra menatap ke langit.Angin bertiup, membawa aroma sungai dan... sesuatu lagi.
Sesuatu yang aneh.
Dari balik hutan di sisi lain, suara seruling tipis terdengar.Nada-nada aneh, menembus kabut ketakutan.
Pasukan Cahaya mulai gelisah. Beberapa mengangkat senjata dengan gugup.
Dari bayangan pepohonan, sosok-sosok berkulit gelap dan mata keperakan muncul—pasukan dari Suku Bayangan, para pengembara yang selama ini netral dalam perang.
Mereka datang.
Dipimpin seorang wanita tinggi berambut perak, dengan jubah hitam berlapis ungu, dan mata yang berkilat seperti malam berbintang.
"Kau pikir dunia ini hanya milik kalian?" suaranya bergema di udara. "Kau salah besar."
Komandan musuh tampak ragu sejenak.
Terlambat.
Dalam hitungan detik, panah-panah hitam meluncur, menerjang pasukan Cahaya dengan presisi mematikan.
Medan pertempuran berubah menjadi kekacauan.
Lyra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Sekarang! Lewati sungai!" serunya.
Dengan dorongan terakhir, mereka berlari—menembus kabut pertempuran, melewati sungai yang dingin, meninggalkan kematian dan kehancuran di belakang.
Saat akhirnya mereka berhasil mencapai sisi lain sungai, Lyra jatuh berlutut, kehabisan tenaga.
Di seberangnya, kabut masih menutupi semua yang tertinggal—termasuk Kaelen.
Dia menutup matanya, membiarkan air mata mengalir bebas.
"Aku akan menepati janjiku, Kaelen," bisiknya dalam hati. "Aku akan terus berjalan. Demi kita semua."
Malam mulai turun, membawa bintang-bintang pertama di langit kelam.
Sebuah malam baru.
Sebuah awal baru.
Namun di hati Lyra, satu bayangan tetap tinggal...Bayangan seseorang yang ia cintai, yang mungkin masih berjuang di sisi lain dunia ini.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report