The Shattered Light
Chapter 153: – Bayangan di Balik Cahaya

Chapter 153: – Bayangan di Balik Cahaya

Dunia serasa menahan napas saat Kaelen dan pasukannya menyelinap di antara pepohonan yang mulai memutih oleh embun dingin.Di belakang mereka, langit mulai cerah, namun bukan fajar yang mereka tunggu—melainkan pasukan Cahaya yang mengintai seperti serigala lapar.

Kaelen memberi isyarat.Mereka harus bergerak lebih cepat.

"Jalur sungai," bisiknya ke Alden. "Kalau kita bisa mencapai tebing, kita bisa memperlambat mereka."

Alden mengangguk, menarik napas berat sebelum memimpin sebagian pasukan kecil ke arah yang ditunjukkan.

Serina berjalan di belakang Kaelen, menjaga jarak. Ia tidak berani menatap mata siapa pun.Tak perlu kata-kata—semua orang merasakan ketegangan yang mengeras di antara mereka.

Saat mereka melewati ngarai sempit, teriakan melengking memecah udara.

Anak panah pertama meluncur dari balik bebatuan.

"Serangan!" teriak Alden, mengangkat perisainya.

Kaelen segera merunduk, menarik Lyra ke bawah lindungan pohon.Anak-anak panah bersiul di udara seperti hujan kematian.

Pasukan Cahaya telah memasang jebakan. Mereka menunggu.Dan sekarang mereka menutup jalan keluar satu per satu.

"Ini jebakan!" Serina berteriak, mencoba menebus kesalahannya.

Kaelen mengertakkan gigi, matanya menyapu medan.Tidak ada waktu untuk menyalahkan siapa pun.

"Bentuk formasi defensif!" serunya. "Kita bertahan, lalu mundur ke sungai!"

Prajurit-prajuritnya segera mengelilingi para penyihir dan anak-anak kecil yang ikut mereka lindungi.Namun jumlah musuh terlalu banyak. Cahaya dari perisai-perisai suci mereka berkilauan, dan mantra-mantra pengikat mulai dilemparkan.

Kaelen bertarung seperti badai.

Setiap tebasan pedangnya mengoyak udara, membelah perisai dan armor musuh.Di sampingnya, Lyra mengerahkan seluruh kekuatan sihir kegelapannya untuk menciptakan kabut hitam yang mengaburkan pandangan lawan.

Namun tetap saja, perlahan tapi pasti, mereka didesak mundur.

Alden mengangkat tombaknya, menghalau tiga musuh sekaligus.

"Kita tidak bisa bertahan di sini lama lagi!" teriaknya.

Kaelen mengangguk. Dia tahu.

Dan saat itu... sebuah ide gila muncul.

Kaelen menarik Serina mendekat.

"Kau tahu jalan rahasia di balik tebing itu, bukan?" tanyanya dengan cepat.

Serina mengangguk, napasnya memburu.

"Ada lorong gua kecil. Tapi sempit, hanya cukup untuk satu orang lewat dalam satu waktu."

"Bawa mereka lewat situ," perintah Kaelen tegas. "Kau pimpin. Aku, Alden, dan Lyra akan menahan mereka di sini."

Serina tampak ragu.

"Tapi—kau..."

"Kita butuh seseorang untuk memastikan generasi berikutnya selamat," Kaelen memotong tajam. "Ini satu-satunya cara."

Serina menggigit bibirnya, lalu menunduk dalam.

"Baik."

Dia memimpin sebagian besar kelompok kecil itu, membawa anak-anak, orang-orang yang terluka, dan sebagian prajurit muda ke lorong yang hampir tak terlihat di dinding batu.

Kaelen menatap kepergian mereka dengan berat.Dia tahu tidak semua orang akan sampai di seberang.Termasuk mungkin dirinya sendiri.

Alden berdiri di sisi kirinya, Lyra di kanan.Bersama-sama mereka membentuk benteng kecil terakhir.

"Kau benar-benar gila," kata Alden, setengah tertawa getir.

Kaelen hanya mengangkat bahu.

"Lebih baik mati bertarung daripada hidup berlutut."

Lyra melemparkan senyum tipis—pahit dan penuh cinta.

"Kalau mati bersamamu," katanya, "mungkin tidak terlalu buruk."

Kaelen memandang Lyra sekilas, rasa sesak memenuhi dadanya.Ia tahu, dalam hatinya yang paling dalam, bahwa ia sudah kehilangan terlalu banyak.Dan mungkin... akan kehilangan lagi.

Pasukan Cahaya mengatur ulang barisan.Sebuah suara menggelegar datang dari depan: komandan mereka—salah satu Elit Cahaya—muncul, membawa tombak bercahaya yang mampu menembus benteng mana pun.

Kaelen, Alden, dan Lyra bersiap.

Pertarungan meletus.

Pedang beradu pedang, sihir menghantam batu, teriakan kesakitan bercampur dengan gemuruh bumi yang terguncang.Kaelen menghancurkan satu per satu lawannya, tapi tubuhnya mulai melemah, luka mulai mengalirkan darah di sisi-sisinya.

Lyra kehabisan energi, hampir jatuh ke tanah kalau Alden tidak menangkapnya.

"Kita tidak akan bertahan lama!" teriak Alden.

Kaelen menghela napas berat.Satu langkah lagi.Satu tarikan napas lagi.

Dari sudut matanya, Kaelen melihat pilar batu besar yang rapuh di tepi sungai.Sebuah ide berbahaya melintas.

"Alden! Lyra! Mundur sekarang!" perintahnya.

"Apa?!"

"Sekarang!"

Tanpa menunggu, Kaelen mengerahkan seluruh kekuatan terakhirnya, menghantam fondasi pilar itu.

Dengan dentuman mengerikan, pilar runtuh, membawa longsoran batu besar yang memisahkan Kaelen dari pasukan Cahaya—dan dari Lyra dan Alden.

"KAELEN!!!" teriak Lyra putus asa dari seberang.

Debu dan batu menelan suara mereka.

Kaelen berdiri sendiri, napasnya berat.Pasukan Cahaya mendekat dari segala arah.

Dia mengangkat pedangnya sekali lagi.

Jika ini akhirnya, maka dia akan menghadapi kematian seperti seorang prajurit.

Dengan senyum kecil, ia berbisik pada dirinya sendiri:

"Untuk mereka... untuk dunia yang lebih baik."

Lalu dia menyerbu ke tengah badai.

Dalam reruntuhan dan darah, seorang pria berdiri sendirian melawan takdirnya.Dan di sisi lain longsoran batu, cinta dan sahabatnya hanya bisa berharap... semoga pengorbanan itu tidak sia-sia.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report