The Shattered Light
Chapter 123: – Orang Asing di Antara Kita

Chapter 123: – Orang Asing di Antara Kita

Cahaya fajar merayap perlahan di atas punggung-punggung bukit, membasuh reruntuhan Nareth dengan warna oranye kusam. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan keheningan berat yang tak diusik burung, tak dipecah angin.

Di tengah reruntuhan itu, Lyra duduk bersandar di dinding batu setengah runtuh, wajahnya pucat tapi tenang. Kaelen berdiri beberapa langkah darinya, tangan terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu yang lebih berat dari dunia.

"Kau... siapa?" tanya Lyra, suara seraknya nyaris tertelan oleh hembusan angin.

Kaelen membuka mulutnya—lalu menutupnya lagi. Tidak ada jawaban yang cukup.

Serina berdiri tak jauh di belakangnya, lengan terlipat, wajah keras menyembunyikan luka yang tak bisa ia perbaiki. Alden berjongkok di samping api kecil, memeluk lututnya, matanya kosong.

"Aku... seorang teman," akhirnya Kaelen berkata, suara itu nyaris tak terdengar.

Lyra mengangguk perlahan. Tidak percaya. Tidak menolak. Hanya... menerima, seperti orang menerima kenyataan bahwa hujan akan turun.

Serina mendekat, berlutut di depan Lyra. "Kau ingat apa pun?"

Lyra mengernyit. "Ada... potongan. Cahaya. Sebuah liontin. Sebuah nama... Kaelen. Tapi aku tidak tahu apa artinya."

Kaelen menahan napas sejenak.

Liontin.

Itu satu-satunya yang tersisa dari mereka.

Ia merogoh saku dalam jubahnya dan mengeluarkan liontin tua—liontin kecil dengan simbol tiga bintang berkelok. Ia berjalan pelan, setiap langkah seperti melangkah ke medan berduri.

Saat ia mengulurkan liontin itu ke Lyra, jari-jarinya gemetar.

"Ini milikmu," katanya pelan.

Lyra mengambilnya. Memegangnya seperti sesuatu yang berharga tapi asing. Ia memandangi ukirannya lama, mengernyit, lalu berkata, "Kenapa... rasanya kosong?"

Kaelen berjongkok di depannya. Jarak mereka hanya sejengkal, tapi terasa seperti dunia.

"Karena kenanganmu masih tertutup," katanya. "Dan mungkin... beberapa bagian tidak akan pernah kembali."

"Apakah itu buruk?" bisik Lyra.

Kaelen ingin berteriak YA. Ingin memberitahunya tentang tawa mereka di padang rumput, tentang janjinya di malam hujan, tentang ciuman pertama yang kikuk di bawah bintang yang jatuh.

Tapi ia hanya tersenyum kecil.

"Itu... bagian dari menjadi hidup."

Serina berdiri dan berjalan menjauh, menendang kerikil dengan frustrasi. Ia menggigit bibir bawahnya keras sampai nyaris berdarah.

"Ini tidak adil," katanya keras, akhirnya. "Kau mengorbankan segalanya, Kaelen. Dan dia bahkan tidak tahu."

Alden, dari dekat api, berkata tanpa menoleh, "Kadang... menyelamatkan seseorang berarti membiarkan mereka tak tahu apa yang kita lakukan."

Serina menoleh tajam.

"Itu bukan menyelamatkan. Itu menghukum."

Kaelen hanya duduk diam di tanah, membiarkan debu menempel di jubahnya. Ia merasa kosong, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak melawan kekosongan itu. Ia membiarkannya ada.

Lyra menatap liontin di tangannya, lalu bertanya perlahan:

"Apakah aku... pernah mencintai seseorang?"

Hening.

Angin meniupkan daun-daun kering melewati kaki mereka.

Kaelen menelan ludah.

"Ya," katanya. "Kau pernah."

"Dan... apakah aku bahagia?"

Suara Kaelen pecah, nyaris tak bisa dikendalikan.

"Kau... membuat dunia ini terasa bisa ditanggung."

Tiba-tiba, dari liontin yang Lyra genggam, cahaya samar merembes keluar. Seperti benih, kecil dan rapuh. Itu bukan ledakan kekuatan. Itu sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam.

Lyra tertegun. Kaelen mundur setengah langkah.

"Apa ini?" bisik Lyra, ketakutan.

Elvior—yang sejak tadi diam seperti patung—akhirnya berbicara dari balik reruntuhan.

"Itu... adalah Cahaya Tertanam."

"Apa maksudmu?" Kaelen mendekat, matanya menyipit.

"Itu ingatan. Bukan miliknya lagi. Tapi sekarang, benih itu bisa tumbuh... atau mati. Bergantung pada apa yang dipilih hatinya."

Kaelen merasakan darahnya membeku.

Artinya: jika Lyra membuka dirinya untuk mencintai lagi, ingatan itu bisa kembali. Tapi jika ia menutup dirinya... semuanya akan benar-benar hilang.

Lyra memegang liontin itu erat, air mata menggenang di matanya tanpa ia sadari.

"Aku... takut," bisiknya.

Kaelen mengulurkan tangan. Tidak menyentuhnya. Hanya membiarkan tangannya menggantung di antara mereka.

"Aku juga."

Untuk sesaat, dunia hanya ada mereka berdua, duduk di reruntuhan masa lalu yang patah.

Dan dalam hening itu, Lyra memejamkan mata.

Tak ada janji akan bahagia.

Tak ada jaminan akan berhasil.

Hanya... pilihan.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report