The Shattered Light
Chapter 149: – Jejak di Abu

Chapter 149: – Jejak di Abu

Fajar baru saja mengintip di ufuk timur ketika Kaelen, Lyra, Serina, dan Alden meninggalkan Wellspring.Kabut masih menggantung di ladang, membungkus dunia dalam warna abu-abu pucat.

Mereka menunggangi kuda cepat, melintasi jalan setapak sempit yang jarang digunakan.

Selama beberapa saat, hanya suara derap kuda dan helaan napas berat yang terdengar.

"Aku tidak suka ini," gumam Alden, memecah keheningan. "Kita mengejar hantu berdasarkan kata-kata orang asing."

Serina menoleh dengan tajam.

"Pilihan kita terbatas. Duduk diam bukan opsi."

Lyra menambahkan, suaranya rendah, serius.

"Jika Ashen Dawn punya waktu untuk berkembang, kita bisa kehilangan semua yang telah kita bangun."

Kaelen tidak berkata apa-apa.Pikirannya sibuk membayangkan wajah-wajah yang mempercayainya, membayangkan Wellspring terbakar... lagi.

Dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Tidak kali ini.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di desa pertama yang disebutkan Darven.

Atau lebih tepatnya, apa yang tersisa darinya.

Hanya abu, puing-puing hitam, dan tiang-tiang hangus.

Kaelen turun dari kudanya, lututnya bergetar ringan.

"Terlambat," gumam Serina, suaranya pahit.

Lyra berlutut, meraba abu dengan jemarinya.

"Masih hangat."

Alden memandang ke sekeliling, mata waspada.

"Mereka mungkin masih di sekitar."

Kaelen berjalan perlahan di antara reruntuhan.

Sebuah mainan kayu terbakar separuh tergeletak di tanah.Ia memungutnya, merasakan berat rasa bersalah yang menghantam dadanya.

"Ini bukan hanya serangan," katanya akhirnya. "Ini pembersihan."

Serina mengangguk.

"Mereka ingin menghapus jejak mereka... dan menanam ketakutan."

"Dan memperingatkan kita," tambah Lyra perlahan.

Kaelen mengepalkan mainan di tangannya.

"Kalau begitu, kita jawab peringatan ini."

Alden menemukan sesuatu di belakang sebuah sumur tua.

Sebuah simbol terukir kasar di batu.

Tiga garis melingkar bertemu di satu titik—lambang Ashen Dawn.

Kaelen menatapnya dengan tatapan tajam.

"Ini petunjuk."

Serina mengangkat alis.

"Atau perangkap."

Kaelen tersenyum tipis, dingin.

"Kadang perangkap adalah satu-satunya jalan ke musuh."

Mereka memutuskan untuk mengikuti jejak itu.Lambang berikutnya ditemukan tertoreh di pohon mati di pinggir hutan.Lalu pada batu besar di tepi sungai.

Selalu cukup tersembunyi untuk tidak terlihat oleh orang awam... tetapi cukup jelas bagi mereka yang tahu apa yang dicari.

"Mereka mengarahkan kita," kata Lyra, suaranya mengeras.

Alden menghela napas berat.

"Kalau ini jalan ke neraka, aku harap setidaknya ada pintu keluar di ujungnya."

Mereka tiba di sebuah lembah sempit menjelang sore.

Kabut aneh menggantung di udara, terlalu pekat untuk sekadar embun biasa.

Insting Kaelen berteriak—jebakan.

"Berhenti," katanya tajam.

Semua orang langsung mengerem kudanya.

Dari balik kabut, sosok-sosok muncul—berjubah kelabu kusam, wajah tersembunyi di balik topeng kayu hitam.

Mereka mengepung dari segala arah.

Serina mengangkat busurnya, Alden mencabut pedangnya, Lyra bersiaga.

Kaelen maju satu langkah, suaranya keras.

"Kami tahu siapa kalian. Kami tahu apa yang kalian rencanakan."

Salah satu dari mereka—mungkin pemimpin kelompok kecil ini—melangkah maju.

Suara berat terdengar dari balik topeng.

"Dan tetap saja kalian datang."

Kaelen mengangkat pedangnya perlahan.

"Kami tidak akan membiarkan kalian menghancurkan segalanya."

Pemimpin itu tertawa kecil, suara yang terdengar seperti kayu terbakar.

"Segalanya sudah hancur, Kaelen Draven. Kau hanya berjalan di antara abu."

Serina menembakkan anak panah pertamanya.

Dan pertempuran pecah.

Kabut membuat segalanya kacau.Serangan datang dari arah yang tidak terduga, suara langkah-langkah berlipat ganda, menipu telinga mereka.

Kaelen bertarung dengan naluri.Menebas, menghindar, menyerang balik.

Serina melindungi sisi kanan Kaelen, Alden bertarung di sisi kiri, dan Lyra menyelinap ke belakang musuh, menusuk dari bayangan.

"Mereka lebih terlatih dari Ordo Cahaya!" teriak Alden, menahan dua serangan sekaligus.

Kaelen mengangguk cepat.

Mereka memang.Ashen Dawn bertarung tanpa rasa takut.Seolah kematian sendiri adalah bagian dari kemenangan mereka.

Saat Kaelen bertarung dengan seorang pemanah bertopeng, ia sempat menjatuhkan topeng lawannya dengan pukulan keras.

Wajah di balik topeng itu membeku Kaelen di tempatnya.

"Varrek...?" gumamnya tak percaya.

Varrek—salah satu rekan seperjuangan lama mereka.Yang dulu dikira tewas dalam penyergapan Ordo Cahaya.

Wajah itu berubah kejam.

"Dunia lama harus dihancurkan, Kaelen," kata Varrek sebelum menyerang lagi.

Kaelen terpaksa menangkis.

Dalam satu kilatan pedang dan percikan darah, masa lalu dan masa kini berbenturan.

Pengkhianatan.Pengkhianatan dari orang yang dulu mereka percaya.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report