The Shattered Light -
Chapter 144: – Langkah Pertama Menuju Perang
Chapter 144: – Langkah Pertama Menuju Perang
Pagi itu, udara di desa terasa berbeda—lebih berat, lebih padat dengan sesuatu yang tak kasat mata: keputusan besar yang mendekat.
Kaelen berdiri di tengah lapangan utama, di bawah langit yang diselimuti awan kelabu.Di depannya, para penduduk desa—pria, wanita, bahkan beberapa remaja—berkumpul, wajah-wajah mereka campuran antara ketakutan dan tekad.
Serina berdiri di sisi kirinya, busur digantung santai di pundaknya.Alden di sisi kanan, tangan bertumpu pada gagang pedang.Lyra sedikit di belakang, matanya mengawasi kerumunan dengan cermat.
Kaelen menarik napas panjang, lalu maju satu langkah.
"Kalian semua tahu kenapa kita di sini," katanya, suaranya bergema."Kita punya pilihan: bertahan di balik dinding rapuh ini... atau melangkah keluar, menantang dunia yang berusaha membunuh kita."
Beberapa orang bergumam pelan.Sebagian besar diam, menunggu.
Kaelen melanjutkan, lebih tegas:
"Aku tak akan berbohong. Kita akan menghadapi bahaya. Kita akan kehilangan orang yang kita cintai. Tapi jika kita diam... kita tetap akan hancur. Satu per satu."
Ia mengangkat pedangnya ke langit abu-abu.
"Aku memilih bertarung. Aku memilih membangun dunia baru, dengan tangan kita sendiri. Siapa yang akan ikut?"
Sejenak, keheningan menyelimuti semuanya.
Lalu, perlahan, seorang pria bertubuh besar maju—namanya Gorvan, tukang kayu desa.
"Aku ikut."
Disusul seorang wanita tua, menahan gemetar di kakinya.
"Aku juga."
Dan seperti riak di permukaan air, satu demi satu orang maju.Mereka tak berteriak.Mereka tak mengangkat senjata.Mereka hanya berdiri—dan itu sudah cukup.
Di dalam balai desa yang sempit, Kaelen, Serina, Alden, dan Lyra duduk mengitari meja usang, bersama beberapa kepala keluarga dan mantan prajurit.
Peta kasar dunia terbentang di meja.
Kaelen mengetuk titik-titik tertentu dengan ujung pedangnya.
"Di sini," katanya menunjuk satu desa kecil, "Aredal. Mereka punya pejuang yang dulu membelot dari Ordo Cahaya."
"Tapi mereka dibenci oleh desa sekitar," komentar Serina.
"Kita butuh mereka," kata Kaelen. "Mereka tahu cara bertahan."
Ia mengetuk titik lain.
"Ini, Verdan. Banyak keluarga pengungsi. Mereka bisa memperkuat angka kita."
"Mereka bukan prajurit," gumam Alden.
"Bukan... tapi semangat mereka bisa dibentuk," jawab Kaelen.
Lyra menunjuk ke selatan.
"Dan di sini, Marrow Vale. Desa ini... rumornya, masih setia pada sisa-sisa Ordo Cahaya."
Ruangan menjadi sunyi.
Semua tahu: sebelum dunia baru lahir, darah harus kembali tumpah.
Kaelen menatap semua yang ada di ruangan itu.
"Kita tak akan menyerang orang yang tak bersalah. Tapi siapa pun yang mengangkat senjata untuk menindas... kita hadapi mereka."
Hari-hari berikutnya, desa berubah menjadi sarang aktivitas.
Serina melatih para penduduk dalam teknik bertarung dasar—memegang busur, membentuk formasi bertahan, menyiapkan jebakan sederhana.
Alden melatih kelompok kecil untuk penyergapan cepat dan strategi hutan.
Lyra bekerja tanpa lelah membangun jaringan informasi kecil, mengirim pengintai ke desa-desa sekitar untuk mencari tahu siapa teman dan siapa musuh.
Kaelen... Kaelen membagi dirinya di antara semuanya, memimpin, menguatkan, dan di malam hari, duduk sendirian di puncak bukit, merenungi beban yang semakin berat di pundaknya.
Suatu malam, ketika bintang-bintang menggantung rendah di langit, Lyra menemukannya di sana.
"Kau tak tidur lagi," katanya sambil duduk di sampingnya.
"Terlalu banyak pikiran," jawab Kaelen, suaranya serak.
Lyra memandangnya lama, sebelum akhirnya bertanya:
"Apa kau takut, Kaelen?"
Ia terdiam lama sebelum menjawab.
"Lebih dari yang bisa kubilang."
"Tak apa-apa," bisik Lyra. "Aku juga."
Kaelen menghela napas, menatap jauh ke cakrawala.
"Aku takut... aku akan menjadi seperti mereka. Mengorbankan apa yang aku perjuangkan, demi kemenangan."
Lyra menaruh tangannya di atas tangan Kaelen.
"Kau sudah berbeda. Karena kau bertanya. Karena kau peduli."
Ia menoleh, bertemu mata Lyra.
Ada keheningan yang dalam di antara mereka—bukan keheningan kosong, tapi keheningan penuh makna.Keheningan yang mengandung harapan... dan ketakutan.
"Jangan kehilangan hatimu, Kaelen," kata Lyra pelan. "Tanpa itu... semua ini tak ada artinya."
Saat fajar pertama menyentuh desa, Kaelen berdiri di gerbang kayu sederhana.
Di belakangnya, puluhan orang bersenjata seadanya berdiri tegak.
Serina di sebelah kiri, Alden di sebelah kanan, Lyra di belakangnya.
Mereka bukan tentara.Mereka bukan pahlawan.
Mereka hanyalah orang-orang biasa... yang menolak tunduk.
Kaelen menarik napas dalam-dalam.
Hari ini mereka melangkah.
Hari ini mereka menulis awal dari dunia baru—dengan darah dan tekad.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report