The Shattered Light -
Chapter 131: – Darah dan Janji
Chapter 131: – Darah dan Janji
Darah Serina membasahi tanah berbatu di bawahnya, warnanya mencolok di tengah cahaya obor yang bergoyang tertiup angin malam.
Kaelen berlutut di sampingnya, menahan tubuh sahabatnya yang mulai melemah.
"Tetap bersamaku," bisiknya, nada suaranya pecah.
Serina memaksakan senyuman—senyuman tipis, getir, tapi penuh tekad.
"Aku tidak... akan... mati... sebelum kau... menyelesaikannya."
Napasnya berat, terputus-putus. Tangannya menggenggam busur erat, seolah enggan melepaskan satu-satunya bagian dari dirinya yang masih berperang.
Eryon berdiri hanya beberapa langkah jauhnya.
Topengnya telah terlepas, memperlihatkan wajahnya—lelah, penuh amarah, dan rasa bersalah yang saling bertabrakan.
"Aku tidak ingin ini terjadi," katanya, suaranya serak. "Kaelen... kau harus mengerti. Ini satu-satunya jalan."
Kaelen mendongak perlahan, sorot matanya berubah menjadi tajam seperti pisau.
"Kau menikam sahabatku, Eryon," katanya pelan, setiap kata lebih berat dari palu perang. "Apa yang harus kupahami dari itu?"
Eryon menegakkan tubuhnya, meski luka dan debu menodai jubahnya.
"Aku berjuang untuk dunia yang lebih baik!" teriaknya. "Untuk dunia di mana tidak ada lagi pertempuran, tidak ada lagi kegelapan!"
Lyra berdiri di samping Kaelen, wajahnya tegang.
"Dengan membunuh orang-orang yang mempercayaimu?" katanya tajam. "Itu bukan dunia baru, Eryon. Itu dunia yang sama dengan yang ingin kita hancurkan."
Kerumunan mulai merapat. Sebagian besar bingung, ragu siapa yang harus mereka percayai. Beberapa mulai berteriak nama Kaelen, memohon kejelasan.
Alden, yang berdiri di belakang, berteriak.
"Kaelen! Kita tak punya banyak waktu!"
Kaelen bangkit perlahan, tubuhnya gemetar—bukan karena takut, melainkan karena amarah dan kehilangan yang bergulat di dalam dadanya.
Ia mengangkat pedangnya, mengarahkannya ke Eryon.
"Pilihanmu," katanya dingin. "Menyerah... atau berjuang."
Eryon tertawa getir.
"Aku tidak bisa menyerah. Kau tahu itu."
"Aku tahu," balas Kaelen. "Tapi aku tetap memberimu kesempatan."
Mata Eryon berkaca-kaca—sejenak, Kaelen melihat sekilas sahabat lamanya yang dulu ia kenal, sebelum dunia merenggut mereka berdua.
Tapi momen itu berlalu.
Dengan teriakan penuh putus asa, Eryon menerjang.
Pedang mereka bertemu dengan dentang keras, percikan api memancar ke udara malam.
Kaelen menghindari tebasan liar Eryon, membalas dengan serangan cepat yang hampir mengenai lengan Eryon.
Mereka bertarung bukan hanya dengan pedang—tapi dengan seluruh rasa sakit, pengkhianatan, dan cinta yang pernah mereka miliki untuk satu sama lain.
"Kau selalu berpikir kau lebih baik dariku!" teriak Eryon, menebas ke arah Kaelen.
"Aku tidak pernah ingin lebih baik," Kaelen membalas, menahan serangan itu. "Aku hanya ingin kita sama-sama bebas."
Serina, dari tanah, berusaha mengangkat busurnya meski tangannya gemetar.
Lyra berlutut di sampingnya, berusaha menghentikan pendarahan.
"Bertahan, Serina," bisik Lyra. "Kami butuh kau."
Kaelen akhirnya menemukan celah.
Satu gerakan cepat—pedangnya menebas pedang Eryon, menjatuhkannya ke tanah.
Eryon jatuh berlutut, napasnya tersengal.
Kaelen mengangkat pedangnya, siap mengakhiri pertarungan.
Tapi tangan Eryon terangkat.
Bukan untuk menyerang.
Untuk menyerah.
"Lakukan," katanya pelan. "Aku pantas mendapatkannya."
Kerumunan menahan napas.
Serina berbisik dari tanah.
"Kaelen... jangan jadi monster... seperti mereka..."
Kaelen memejamkan mata.
Seluruh tubuhnya bergetar.
Amarah. Duka. Kehilangan.
Semuanya berbaur jadi satu.
Dengan satu gerakan tegas, Kaelen menurunkan pedangnya.
Bukan untuk membunuh.
Untuk menancapkannya ke tanah.
"Aku tidak akan membunuhmu, Eryon," katanya, suaranya parau. "Aku tidak membunuh masa laluku."
Kerumunan meledak dalam sorakan—bukan karena kemenangan, tapi karena harapan.
Lyra menangis dalam diam.
Alden menepuk bahu Kaelen dengan bangga.
Eryon terjatuh sepenuhnya, menangis dalam keheningan, kehilangan segalanya kecuali hidupnya sendiri.
Kaelen berlutut di samping Serina, menggenggam tangannya.
"Aku janji," bisiknya. "Aku akan menepati apa yang kita mulai. Aku tidak akan biarkan semua ini sia-sia."
Serina tersenyum samar.
"Kalau kau berani bohong... aku akan datang menghantui."
Kaelen tertawa pendek, matanya basah.
Di atas mereka, bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu di langit malam.
Mereka bertarung.
Mereka berdarah.
Mereka kehilangan.
Tapi untuk pertama kalinya, mereka benar-benar memilih jalan mereka sendiri.
Dan itu baru permulaan.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report