The Shattered Light -
Chapter 129: – Gerbang Waktu Terkunci
Chapter 129: – Gerbang Waktu Terkunci
Cahaya dari portal itu menyelimuti mereka, bukan seperti cahaya biasa, melainkan seperti kabut cair yang dingin dan berat. Sensasinya aneh — seolah tubuh mereka tidak berjalan, melainkan melayang di antara serpihan waktu yang berguguran.
Kaelen menggenggam erat tangan Lyra, memastikan ia tidak terlepas.
Serina di sisi lain, wajahnya tegang, tangannya tetap dekat pada busurnya. Alden, meski mencoba bersikap santai, matanya terus bergerak, mencari ancaman yang mungkin tersembunyi di balik kilatan-kilatan memori.
"Aku benci tempat-tempat seperti ini," gumam Alden, suaranya mengambang di udara yang tidak nyata. "Tidak ada yang bisa dipukul."
Serina mendengus kecil. "Tenang saja. Begitu keluar, aku yakin akan ada cukup banyak yang bisa kau pukul."
Lyra menoleh pada Kaelen, suaranya rendah.
"Kau yakin ini jalan yang benar?"
Kaelen mengangguk, meski hatinya diliputi keraguan.
"Aku tidak tahu apa yang akan kita temukan, Lyra. Tapi kita harus tahu."
Perasaan melayang itu tiba-tiba berhenti.
Mereka terjatuh ke tanah keras, mengguncang tubuh mereka.
Saat Kaelen membuka matanya, ia mendapati dirinya berdiri di tengah alun-alun kota yang ramai.
Tapi ini bukan kota yang ia kenal.
Orang-orang berpakaian berbeda — jubah panjang, lambang Cahaya dan Kegelapan berdampingan di dada mereka. Tak ada tembok pemisah. Tak ada penjaga bersenjata berpatroli.
Hanya kehidupan... normal.
Seolah dunia ini belum tercemar oleh kebencian.
Serina menyipitkan mata, mencoba memahami.
"Ini... sebelum perang besar," katanya.
Alden berjongkok, memeriksa batu jalanan.
"Lihat ini. Tidak ada retakan. Tidak ada tanda-tanda pertempuran."
Lyra berjalan perlahan, matanya membesar saat mengenali sebuah menara tinggi di ujung alun-alun.
"Itu... itu Menara Solace," bisiknya. "Tapi... di zaman kita, menara itu hancur."
Kaelen mengangguk perlahan.
"Kita benar-benar di masa lalu."
Mereka bergerak menyusuri jalanan, berusaha berbaur.
Tapi ada sesuatu yang salah.
Mata-mata orang-orang. Cara mereka berbicara berbisik. Cara mereka cepat-cepat menghindari pandangan satu sama lain.
"Tempat ini kelihatan damai di luar," gumam Alden, "tapi sesuatu bersembunyi di bawah permukaan."
Mereka tiba di pusat alun-alun, di mana sebuah pengumuman akan segera dibacakan.
Orang-orang berkumpul, dan di tengah panggung berdirilah seorang pria berwibawa dengan jubah putih-emas—seorang yang mengenakan lambang Ordo Cahaya di dadanya.
Kaelen menahan napas saat mengenali sosok itu.
"Itu... Grandmaster Elvior," katanya, suara bergetar.
Tapi bukan Elvior tua yang mereka kenal. Ini Elvior muda — gagah, penuh karisma, dengan sorot mata membakar penuh keyakinan.
"Ini sebelum dia... sebelum dia menjadi monster," gumam Lyra, matanya basah.
Elvior mengangkat tangan.
"Rakyat sekalian!" serunya, suaranya menggema. "Kita berdiri di ambang era baru! Era di mana Cahaya dan Kegelapan tak lagi berperang, melainkan berpadu!"
Kerumunan bertepuk tangan.
"Tapi ada mereka," lanjut Elvior, nadanya berubah gelap, "yang ingin mempertahankan kekacauan! Yang takut akan perdamaian! Mereka bersembunyi di bayangan... menghasut... menghancurkan kepercayaan kita!"
Sorakan berubah menjadi teriakan kemarahan.
Kaelen bertukar pandang dengan Lyra.
"Dia... memanipulasi mereka," bisik Kaelen. "Menanamkan rasa takut."
Serina menggeram rendah. "Biasa. Ciptakan musuh imajiner. Pimpin lewat ketakutan."
Saat mereka berbalik untuk pergi, Kaelen bertabrakan dengan seorang wanita berambut cokelat muda yang sedang terburu-buru.
Mata mereka bertemu.
Dan dunia Kaelen membeku.
"Ibu..." bisik Kaelen, terengah.
Wanita itu — Elara Draven — masih muda, wajahnya berseri-seri dengan harapan. Tak ada tanda kelelahan atau ketakutan yang Kaelen ingat dari masa kecilnya.
"Maafkan saya," katanya sopan sebelum berlari pergi.
Kaelen berdiri terpaku, napasnya pendek.
Lyra menyentuh lengannya lembut.
"Kaelen... kita tidak bisa mengubah masa lalu."
Kaelen menutup matanya, berusaha menahan gelombang emosi yang mengancam menguasainya.
"Aku tahu," bisiknya. "Tapi melihatnya... begitu hidup... rasanya seperti mimpi yang hampir bisa kupegang."
Mereka terus berjalan, sampai menemukan lorong gelap di belakang Menara Solace.
Di sana, dalam bayang-bayang, mereka mendengar percakapan yang membuat darah mereka membeku.
"Kita harus mempercepat rencana," kata suara pria, berat dan dingin.
"Tapi rakyat belum siap," suara lain membalas, terdengar gugup.
"Kalau mereka tidak siap, kita buat mereka siap. Satu ’serangan’ kecil di pasar besok, dan mereka akan menyerahkan kebebasan mereka dengan tangan terbuka."
Kaelen mengenali suara pertama.
Itu Elvior.
Dan saat ia mengintip ke balik dinding, ia melihat Elvior berbicara dengan... Grandmaster Kegelapan.
Kaelen mundur, hatinya berdegup keras.
"Mereka... bersekongkol," katanya, hampir tak percaya. "Cahaya dan Kegelapan. Mereka berdua memanipulasi dunia."
Serina memukul dinding dengan tinjunya.
"Semua darah yang ditumpahkan... semua pengorbanan... sia-sia."
Alden menghela napas berat.
"Kita bertarung, kita membenci, kita membunuh... dan semua itu hanya permainan mereka."
Lyra menatap Kaelen, suaranya bergetar.
"Kalau semuanya kebohongan... apa yang tersisa untuk kita perjuangkan?"
Kaelen mengepalkan tangan.
"Kebenaran," katanya tegas. "Dan dunia yang benar-benar bebas dari bayangan mereka."
Mereka saling bertatapan—dunia di sekeliling mereka mungkin telah dibangun di atas dusta, tapi tekad mereka nyata.
Dan untuk pertama kalinya, Kaelen merasa... mereka akhirnya tahu apa yang harus dilakukan.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report