The Shattered Light -
Chapter 114: – Di Antara Dua Nama
Chapter 114: – Di Antara Dua Nama
Angin dingin dari utara bertiup pelan, membawa aroma bunga liar yang tak seharusnya tumbuh di padang reruntuhan. Kaelion berdiri di ujung bukit, menatap lembah di bawah yang kini diterangi kilau putih perak dari Menara Cahaya Baru.
Di belakangnya, Serina memandangi punggung yang dulu ia kenali sebagai milik Kaelen. Kini, punggung itu terasa asing—tegak, tenang, dan terlalu sunyi.
“Kaelen,” ia memanggil pelan, mengabaikan nama baru itu.
Kaelion tak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan rambut hitamnya tertiup angin.
Serina melangkah mendekat, suaranya makin tegas. “Aku tak peduli berapa banyak ingatan yang kembali. Atau berapa nama yang pernah kau pakai. Tapi jika kau masih memiliki sepotong saja dari yang dulu—teman kami, yang rela bertarung demi yang tak berdaya—maka dengarkan kami.”
Kaelion menoleh perlahan, tatapannya datar. Tapi ada kilatan di matanya. Bukan cahaya, bukan bayangan. Keraguan.
Malam itu, Kaelion duduk sendiri. Ia memejamkan mata. Dan dunia runtuh di sekeliling pikirannya.
Ia melihat Lyra. Bukan Lyra yang penuh cahaya. Tapi Lyra yang berdarah. Terbaring di pelukannya. Air mata mengalir dari mata Kaelen—bukan Kaelion.
Tapi saat ia mencoba menyentuh wajahnya, semuanya hancur. Digantikan oleh suara Lucien.
“Kau hanya mengingat bagian yang mereka izinkan. Bukan kebenaran penuh. Aku bisa membantumu melihat semuanya.”
Kaelion mendadak membuka mata. Keringat dingin menetes di pelipis.
Saat fajar datang, Kaelion menyusun peta kasar. Mereka harus menyusup ke Menara sebelum malam ini. Tapi saat ia memberi perintah, Serina melangkah maju.
“Aku tidak bisa mengikuti rencana ini jika kau terus menyembunyikan sesuatu dari kami,” katanya tegas.
Alden ikut maju. “Kau sudah berubah. Dan kami tidak tahu apakah perubahan itu akan menyelamatkan dunia... atau menghancurkannya.”
Kaelion menatap mereka. “Aku tidak minta kalian percaya pada aku yang sekarang. Tapi jika kita tidak bergerak, Lucien akan membuka Relik sendiri. Dan itu... akan menghapus semua yang pernah ada.”
Serina menatapnya tajam. “Lalu biarkan kami tahu: jika kau berdiri di depan Relik itu, dengan seluruh kekuatanmu kembali, apa yang akan kau lakukan? Akankah kau tetap memilih manusia... atau kekuatanmu?”
Kaelion terdiam lama.
“Aku tidak tahu,” jawabnya akhirnya, jujur—dan itu lebih mengerikan dari kebohongan apa pun.
Sementara itu, di dalam Menara, Lucien berdiri di ruang bawah tanah. Di hadapannya, tiga bayangan menyatu dengan dinding.
Salah satu dari mereka—berwujud perempuan tua dengan suara dua lapis—berkata, “Kau terlalu cepat mengungkapkan diri pada saudaramu.”
Lucien tersenyum miring. “Tapi ia sudah mulai goyah. Sedikit lagi, dan ia akan datang dengan kehendaknya sendiri.”
Bayangan kedua berkata pelan, “Jangan lupa, Kaelion adalah bagian dari kunci. Tapi hanya satu di antara kalian yang bisa bertahan.”
Lucien menunduk dengan hormat. “Dan itulah yang sedang aku siapkan.”
Malam itu, sebelum menyerbu menara, Serina mendekati Kaelion. Ia membawa sesuatu—sebuah liontin kecil, terbakar sebagian, tapi masih menyimpan ukiran di dalamnya: Lyra.
“Ini milikmu. Dulu,” katanya.
Kaelion mengambil liontin itu perlahan. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh permukaannya.
Tiba-tiba, gambaran muncul: Lyra di padang rumput, wajahnya tertawa, lalu berubah menjadi panik saat Kaelen terluka. Suara-suara: tangis, janji, dan... cinta.
Kaelion menahan napas. Air mata mengalir, satu tetes.
“Aku... ingat,” bisiknya.
Serina tersenyum. “Maka itu cukup.”
Saat malam jatuh, mereka berdiri di depan pintu menara. Kaelion, Serina, dan Alden. Tiga bayangan di antara dunia Cahaya dan Kegelapan.
Kaelion menarik napas panjang. Kali ini, ia berbicara dengan suara yang lebih manusia.
“Namaku Kaelen Draven. Dan malam ini, aku memilih untuk mengingat.”
Dengan itu, ia melangkah maju—membawa masa lalu dan masa depannya bersamaan.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report