The Shattered Light
Chapter 111: – Sisa-Sisa yang Tertinggal

Chapter 111: – Sisa-Sisa yang Tertinggal

Langit menggantung kelabu saat Kaelen menatap reruntuhan kuil di belakangnya. Kabut telah surut, tapi hawa dingin masih menempel seperti kenangan yang menolak pergi. Di bawahnya, tanah terasa berat—seolah menyimpan luka dari pertempuran yang belum lama usai.

Serina berjalan perlahan di sampingnya, memegangi lengannya yang terbalut perban. Alden tak jauh di belakang, memeriksa pecahan terakhir dari Relik Cahaya yang mereka bawa.

"Apa menurutmu ini akan tetap diam?" tanya Alden, suaranya rendah tapi sarat curiga. "Bayangannya menghilang, tapi siapa tahu..."

Kaelen hanya mengangguk pelan. Ia tak bisa berkata-kata. Ada suara yang masih berputar di kepalanya sejak malam sebelumnya. Suara yang tak asing—dan terlalu familiar.

"Kaelen."

Ia mendongak saat Serina memanggilnya.

"Aku tahu kau masih memikirkannya."

"Suara itu..." Kaelen bergumam. "Itu bukan halusinasi."

"Siapa menurutmu itu?"

Ia menggeleng. "Aku tak tahu. Tapi hatiku... seperti mengingatnya. Lebih dari sekadar kenal."

Alden bergabung, mengangkat kepalanya dari belatinya. "Kalau begitu kita harus cari tahu. Kita tak bisa jalan buta ke depan."

Serina menatap Kaelen lama, lalu berkata pelan, "Ada satu tempat yang mungkin punya jawaban."

Kaelen menoleh. "Di mana?"

"Arkivet tua di bawah reruntuhan Dalenmoor. Sebelum Ordo Cahaya menguasainya, tempat itu menyimpan catatan tentang keseimbangan dunia. Termasuk asal mula Relik... dan mungkin tentang ’penjaga’ yang kita hadapi."

Alden mengangkat alis. "Kau yakin masih ada yang tersisa?"

"Tidak," jawab Serina. "Tapi kita tidak punya pilihan lain."

Tiga hari perjalanan melewati lembah beku dan hutan mati membawa mereka ke Dalenmoor. Kota itu tinggal puing dan batu hangus, peninggalan lama perang Cahaya dan Kegelapan. Tapi di bawahnya—tersimpan Arkivet yang dijaga mantra tua.

Mereka tiba di celah batu yang tertutup simbol. Kaelen menyentuhnya, dan cahaya hitam keunguan menyala samar di telapak tangannya.

Alden menarik napas tajam. "Kau baru saja... membukanya?"

Kaelen menatapnya. "Atau sesuatu di dalam sana membukanya untukku."

Tangga batu terbuka perlahan, menuruni lorong gelap yang dinginnya lebih tua dari kematian. Bau besi tua dan tinta memenuhi udara.

"Langkah ringan," gumam Serina.

Di dalam, ribuan gulungan dan buku tua tersusun dalam rak batu. Suara mereka menggema di lorong sempit.

Kaelen menarik satu naskah yang tertutup simbol. Saat ia membuka halaman ketiga, sebuah nama melompat keluar:

Kaelion – Penjaga Kedua Bayangan Cahaya.

Jantungnya berdetak kencang.

Alden bersandar di atas bahunya. "Kaelen... itu nama yang mirip dengan milikmu."

"Bukan mirip," bisik Kaelen. "Itu aku."

Naskah itu memuat catatan dari ratusan tahun lalu. Tentang dua penjaga yang diciptakan bersamaan—Cahaya dan Bayangan. Salah satunya menghilang dari sejarah. Di antara baris-baris tua, sebuah gambar samar menggambarkan siluet: satu sosok berdiri dalam kegelapan, yang lain dalam cahaya terbalik.

Serina membaca keras-keras bagian catatan terakhir:

"Dan sang Bayangan pun menanggalkan ingatannya, memilih untuk hidup di antara manusia demi menjaga keseimbangan dari dalam... hingga saat dunia kembali memanggil namanya."

Kaelen menjatuhkan gulungan itu.

"Jadi itu sebabnya... aku kehilangan ingatan setiap kali menggunakan kekuatan?" suaranya serak. "Itu bukan kutukan. Itu... pengingat. Bahwa aku bukan sepenuhnya manusia lagi."

Alden menatap Kaelen dengan gentar. "Apa artinya ini bagi kita?"

Kaelen menunduk. "Aku bukan hanya orang yang melawan kehancuran. Aku bagian dari kunci kehancuran itu sendiri."

Serina menggenggam lengannya. "Kau masih Kaelen yang kami kenal. Apa pun kau dulunya, itu tak mengubah siapa dirimu sekarang."

Saat mereka hendak keluar dari Arkivet, tanah berguncang. Dinding batu bergetar, dan di langit-langit terukir cahaya berbentuk simbol yang membelah dirinya menjadi dua warna—emas dan hitam.

Bayangan muncul di ujung lorong. Bukan sepenuhnya berbentuk manusia. Tapi dari dalamnya, suara yang familiar bergema:

"Kaelion."

Kaelen menegang.

Suara itu melanjutkan, "Waktumu telah tiba. Keseimbangan telah rusak. Dan bagian dirimu yang telah hilang—akan segera kembali."

Serina menarik pedangnya. "Jangan dengarkan dia."

Tapi Kaelen berdiri diam. Pandangannya kosong sejenak.

Bayangan itu perlahan menampakkan bentuk—bukan ancaman, tapi seseorang. Perempuan. Wajahnya hanya sebagian terlihat, tapi cukup untuk mengguncang Kaelen.

"Lyra?" bisiknya, terengah.

Alden memekik. "Itu mustahil. Lyra tidak bisa berada di sini—"

Namun Kaelen sudah melangkah mendekat, tak mendengar apa pun selain detak jantungnya.

Sosok itu tersenyum samar. "Kau tidak mengingatku. Tapi aku di sini, karena bagian dirimu yang hilang... masih memanggilku."

Seketika, tubuh Kaelen tersentak. Bayangan dari lantai menyerap ke dalam tubuhnya, dan kepalanya dipenuhi gambaran wajah, tawa, dan air mata yang tak bisa ia tempatkan.

Ia jatuh berlutut.

Serina memeluknya dari belakang. "Kaelen! Lawan itu! Jangan biarkan dia merebutmu!"

Kaelen menggigil, suaranya nyaris tidak terdengar.

"Kenapa aku... merasa ini semua sudah pernah terjadi?"

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report